Makalah
Administrasi Pelayanan Kesehatan
“ Perkembangan Dalam Perubahan Peran Pemerintah”
Dosen
Pengampu : Asparian S.KM.,M.Kes
DI
SUSUN KELOMPOK 2
:
1. Badriyah
2. Susi Nuryanti
3. Susi Nila Sari
4. Ani Romaningsih
5. Dedi Ariadi
6. Saripudin
PRODI
S1 KESEHATAN MASYARAKAT
SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MERANGIN
TAHUN
AJARAN 2015/2016
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Trisnantoro dkk. (2005) Tiga
Tahun Kebijakan Desentralisasi Kesehatan Di Indonesia. Apakah Merupakan Periode
Ujicoba? Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
2.
Mills, Anna dan Vaughan,
J.Patrick et al(Editor), Desentralisasi
Sistem Kesehatan, Konsep-konsep, isu-isu dan pengalaman di berbagai negara, penerjemah
dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, penyunting dr. Susanto Agus Wilopo,M.Sc,D.Sc,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002
3.
Indonesia, 2003. Kebijakan dan strategi
Desentralisasi Bidang Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesai Nomor :004/MENKES/SK/2003,
Jakarta
4.
Laksono Trisnanto, 2004. Desentralisasi Sistem
Kesehatan, Konsep-konsep, Isu-isu, dan Pengalaman di berbagai Negara. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
5.
www.kebijakankesehatanindonesia.net di akses
tanggal 5 november 2015
6.
File:///data/data/com.android.browser/files/1076-outlook-pml-dinas-kesehatan-di-tahun-2015-3.mht
“Manajemen Pelayanan Kesehatan” di akses tanggal 6 november 2015
7.
file:///data/data/com.android.browser/files//-1.mht
“RSUD akan berada dibawah dinas kesehatan ?” di akses tanggal 6 november 2015
8.
UU No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintah Daerah
9.
Peraturan Pemerintah No 41
Tahun 2007 Tentang Organisasi Pemerintah Daerah
10. Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 Tentang Organisasi
Pemerintah Daerah
11. UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami ucapkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmatnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Perkembangan
Dalam Peran Pemerintah”.
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Administrasi Pelayanan Kesehatan dengan dosen pengampu Asparian S.KM.,M.Kes. Sebagaimana kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
baik dari isi maupun pembahasan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun guna menyempurnakan tugas makalah ini.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.
Bangko, November 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR
ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah .................................................................................. 2
C. Tujuan
Penulisan..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Dasar
Hukum ......................................................................................... 3
B. Konsep
desentralisasi dan otonomi daerah ............................................ 3
C. Perkembangan
era desentralisasi ............................................................ 4
D. Makna
PP No. 38 Tahun 2007................................................................ 5
E. Makna
PP No. 41 Tahun 2007................................................................ 7
F. Makna
UU No. 23 Tahun 2014.............................................................. 10
G. Dinas
Kesehatan..................................................................................... 11
H. Konsep
Good Governance..................................................................... 12
I. Tantangan
.............................................................................................. 13
J. Strategi
Pengembangan Kebijakan......................................................... 19
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................. 20
B. Saran ...................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah sesuai dengan amanat undang undang dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut azas otonomi dan tugas pembantuan, untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Agar pelaksanaan penyelenggaraan
pembangunan kesehatan di daerah dapat bejalan sesuai dengan tujuan yang hendak
di capai, perlu adanya instansi yang membidangi masalah kesehatan di daerah
yaitu Dinas Kesehatan. Perlu di sadari bahwa upaya peningkatan derajat
kesehatan masyarakat akan merupakan investasi jangka panjang, dan ini menjadi
tanggung jawab dari Dinas Kesehatan.
Saat
ini adalah masa transisi yang sering menimbulkan kebingungan di antara tenaga
kesehatan baik di Pusat maupun Daerah. Sejak diberlakukan Otonomi Daerah secara
penuh pada 1 Januari 2001, telah ditemukan berbagai masalah yang sangat
kompleks sehingga perlu penanganan masalah yang komprehensif secara bertahap.
Kebijakan
Desentralisasi bidang Kesehatan sebetulnya telah disusun pada bulan Januari
2001 tetapi sesuai dengan kebutuhan, kebijakan itu dikembangkan menjadi langkah
strategis untuk menyelesaikan berbagai hambatan dan tantangan yang dihadapi
Pusat dan Daerah karena berbagai peraturan untuk mendukung pelaksanaan
desentralisasi dan berbagai pedoman teknis memang belum semua ada.
Desentralisasi
menyebabkan perubahan mendasar dalam tatanan pemerintahan sehingga terjadi juga
perubahan peran dan fungsi birokrasi mulai dari tingkat Pusat sampai ke Daerah.
Perubahan yang mendasar itu memerlukan juga pengembangan kebijakan yang
mendukung penerapan desentralisasi dalam mewujudkan pembangunan kesehatan
sesuai kebutuhan Daerah dan diselenggarakan secara efisien, efektif dan
berkualitas.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah dari latar belakang di atas yaitu :
1. Apa
saja dasar hukum yang menjadi dasar dalam perkembangan perubahan peran
pemerintah di bidang kesehatan ?
2. Bagaimana
konsep desentralisai dan otonomi daerah itu ?
3. Bagaimana
perkembangan di era desentralisasi ?
4. Apa
makna PP No. 38 Tahun 2007 ?
5. Apa
makna PP No. 41 Tahun 2007 ?
6. Apa
makna UU No. 23 Tahun 2014 ?
7. Apa
saja fungsi dinas kesehatan ?
8. Bagaimana
konsep good governance ?
9. Apa
saja tantangan atau masalah yang timbul dalam perubahan peran pemerintah?
10. Bagaimana
strategi pengembangan kebijakan ?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk
menambah wawasan dan pengetahuan tentang perkembangan perubahan peran
pemerintah di bidang kesehatan
2. Untuk
mengetahui lebih jelas tentang fungsi dinas kesehatan berdasarkan PP No. 38
Tahun 2007 dan PP No. 41 Tahun 2007.
3. Untuk
dapat memahami lebih jelas tentang siapa yang menjadi regulator dan operator.
4. Untuk
mengetahui strategi kebijakan untuk masalah yang ada.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dasar
hukum
1. UU
No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah
Daerah
2. UU
No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
3. Peraturan
Pemerintah No 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Pemerintah Daerah
4. Peraturan
Pemerintah No 38 Tahun 2007 Tentang Organisasi Pemerintah Daerah
5. Permenkes
971 Tahun 2009 Tentang Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan
6. UU
No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah
7. Permenkes
No. 7 Tahun 2014 Tentang Perencanaan Dan Penggaran Bidang Kesehatan
B.
Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Desentralisasi
dari sudut asal usul kata berasal dari bahasa Latin, yaitu “de” atau
lepas dan ”centrum” atau pusat, jadi desentralisasi dapat berarti lepas
dari pusat. Handoko (2003:229) mengartikan desentralisasi sebagai penyebaran
atau pelimpahan secara meluas kekuasaan dan pembuatan keputusan kepada
tingkatan-tingkatan organisasi yang lebih rendah.
Desentralisasi
menurut Rondinelli (1981) merupakan: “the transfer or delegation of legal and
authority to plan, make decisions and manage public functions from the central governmental
its agencies to field organizations of those agencies, subordinate units of government,
semi autonomous public corporation, area wide or regional development
authorities, functional authorities, autonomous local government, or
non-governmental organizations” (desentralisasi adalah pemindahan wewenang perencanaan,
pembuatan keputusan, dan administrasi dari pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi
lapangannya, unit-unit pemerintah daerah, organisasi-organisasi setengah swantantra-otorita,
pemerintah daerah, dan nonpemerintah daerah (Koirudin, 2005: 3). Sejalan dengan
pengertian/definisi desentralisasi di atas, dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Istilah
otonomi berasal dari bahasa Yunani autos dan nomos yang berarti perundangan
sendiri. Dengan diberikannya hak kekuasaan dan pemerintahan kepada badan otonomi,
seperti provinsi, kabupaten, dan kota maka dengan inisiatifnya sendiri dapat
mengurus rumah tangganya dengan membuat/mengadakan peraturan-peraturan daerah
yang tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan
pemerintah serta mampu menjalankan kepentingan umum. Otonomi adalah derivat dari
desentralisasi. Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
disebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
C. Perkembangan Era
Desentralisasi
Era desentralisasi atau otonomi daerah
diberlakukan di indonesia pada tahun 1999 sejak diberlakukannya UU Nomor 22
tahun 1999 yang diperbaharuhi pada tahun 2004 dengan UU Nomor 32 Tahun 2004.
Sejak saat itu urusan kesehatan diserahkan kepada pemerintah daerah sampai saat
ini. Revisi terhadap UU pemerintah daerah dengan terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2014
tentang pemerintah daerah. Namun harapan besar terhadap urusan kesehatan
menjadi kewenangan pemerintah pusat yang tersentralisasi menjadi pupus karena
dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 pasal 10 ayat 1 menjabarkan bahwa urusan
pemerintah absolut yang menjadi kewenangan pemerintah pusat meliputi urusan
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional
serta agama. Sementara urusan pemerintah konkuren yang menjadi kewenangan
daerah terdiri atas urusan pemerintah wajib dan urusan pemerintah pilihan.
Urusan pemerintah wajib sebagaimana dimaksud terdiri atas urusan pemerintah
yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan pemerintah yang tidak
berkaitan dengan pelayanan dasar.
Pasal 12 ayat 1 yang menjelaskan bahwa
urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan Pelayanan dasar meliputi :
pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan
kawasan pemukiman, ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat
serta sosial.
D.
Makna
PP No. 38 Tahun 2007
Amanat Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Pemerintahan daerah menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan
yang menjadi urusan Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Penyelenggaraan desentralisasi
mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan
pemerintahan daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya
menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara
bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren. Urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah adalah urusan dalam bidang
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional,
yustisi, dan agama. Urusan pemerintahan yang dapat dikelola secara bersama
antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren adalah urusan-urusan
pemerintahan selain urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah.
Dengan demikian dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat konkuren
senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah,
pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Untuk mewujudkan pembagian urusan pemerintahan yang
bersifat konkuren tersebut secara proporsional antara Pemerintah, pemerintahan
daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota maka ditetapkan kriteria
pembagian urusan pemerintahan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan
efisiensi. Penggunaan ketiga kriteria tersebut diterapkan secara kumulatif
sebagai satu kesatuan dengan mempertimbangkan keserasian dan keadilan hubungan
antar tingkatan dan susunan pemerintahan. Kriteria eksternalitas didasarkan
atas pemikiran bahwa tingkat pemerintahan yang berwenang atas suatu urusan
pemerintahan ditentukan oleh jangkauan dampak yang diakibatkan dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Untuk mencegah terjadinya tumpang
tindih pengakuan atau klaim atas dampak tersebut, maka ditentukan kriteria
akuntabilitas yaitu tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang
timbul adalah yang paling berwenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan
tersebut.
Hal ini adalah sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu
mendorong akuntabilitas Pemerintah kepada rakyat. Kriteria efisiensi didasarkan
pada pemikiran bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan sedapat mungkin
mencapai skala ekonomis. Hal ini dimaksudkan agar seluruh tingkat pemerintahan
wajib mengedepankan pencapaian efisiensi dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya yang sangat diperlukan dalam menghadapi
persaingan di era global. Dengan penerapan ketiga kriteria tersebut, semangat
demokrasi yang diterapkan melalui kriteria eksternalitas dan akuntabilitas,
serta semangat ekonomis yang diwujudkan melalui kriteria efisiensi dapat
disinergikan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan demokratisasi
sebagai esensi dasar dari kebijakan desentralisasi.
Urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari
urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan
pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait
dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat,
seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan,
kependudukan dan sebagainya. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah
urusan pemerintahan yang diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk
diselenggarakan yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core competence) yang menjadi
kekhasan daerah. Urusan pemerintahan di luar urusan wajib dan urusan pilihan
yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah, sepanjang menjadi kewenangan
daerah yang yang bersangkutan.
Namun mengingat terbatasnya sumber daya dan sumber
dana yang dimiliki oleh daerah, maka prioritas penyelenggaraan urusan
pemerintahan difokuskan pada urusan wajib dan urusan pilihan yang benar-benar
mengarah pada penciptaan kesejahteraan masyarakat disesuaikan dengan kondisi,
potensi, dan kekhasan daerah yang bersangkutan.
Di luar urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan
pilihan sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini, setiap
tingkat pemerintahan juga melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang
berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan menjadi kewenangan yang
bersangkutan atas dasar prinsip penyelenggaraan urusan sisa. Untuk itu
pemberdayaan dari Pemerintah kepada pemerintahan daerah menjadi sangat penting
untuk meningkatkan kapasitas daerah agar mampu memenuhi norma, standar,
prosedur, dan kriteria sebagai prasyarat menyelenggarakan urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangannya.
E.
Makna
PP No. 41 Tahun 2007
Amanat Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun
2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah, dimana dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala
daerah dibantu oleh perangkat daerah yang terdiri dari unsur staf yang membantu
penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam sekretariat, unsur pengawas
yang diwadahi dalam bentuk inspektorat, unsur perencana yang diwadahi dalam
bentuk badan, unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan
kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah,
serta unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam dinas daerah.
Dasar utama
penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, yang terdiri dari urusan wajib dan
urusan pilihan, namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan
harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri. Dengan perubahan terminologi
pembagian urusan pemerintah yang bersifat konkuren berdasarkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, maka dalam implementasi kelembagaan setidaknya terwadahi
fungsi-fungsi pemerintahan tersebut pada masing-masing tingkatan pemerintahan.
Penyelenggaraan
urusan pemerintahan yang bersifat wajib, diselenggarakan oleh seluruh provinsi,
kabupaten, dan kota, sedangkan penyelenggaraan urusan pernerintahan yang
bersifat pilihan hanya dapat diselenggarakan oleh daerah yang memiliki potensi
unggulan dan kekhasan daerah, yang dapat dikembangkan dalam rangka pengembangan
otonomi daerah. Hal ini dimaksudkan untuk efisiensi dan memunculkan sektor
unggulan masing-masing
daerah sebagai upaya
optimalisasi pemanfaatan sumber daya daerah dalam rangka mempercepat proses
peningkatan kesejahteraan rakyat.
Peraturan
Pemerintah ini pada prinsipnya dimaksudkan memberikan arah dan pedoman yang
jelas kepada daerah dalam menata organisasi yang efisien, efektif, dan rasional
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing serta adanya koordinasi,
integrasi, sinkronisasi dan sirnplifikasi serta komunikasi kelembagaan antara
pusat dan daerah. Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya mernpertimbangkan
faktor keuangan, kebutuhan daerah, cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas
vang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas, luas wilayah kerja dan kondisi
geografis, jumlah dan kepadatan penduduk, potensi daerah yang bertalian dengan urusan
yang akan ditangani, sarana dan prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu
kebutuhan akan organisasi perangkat daerah bagi masing-masing daerah tidak
senantiasa sama atau seragam.
Peraturan
Pemerintah ini menetapkan kriteria untuk menentukan jumlah besaran organisasi
perangkat daerah rnasing-masing pemerintah daerah dengan variabel jumlah
penduduk, luas wilayah dan jumlah APBD, yang kemudian ditetapkan pembobotan masing-masing
variabel yaitu 40% (empat puluh persen) untuk variabel jumlah penduduk, 35%
(tiga puluh lima persen) untuk variabel luas wilayah dan 25% (dua puluh lima
persen) untuk variabel jumlah APBD, serta menetapkan variabel tersebut dalam beberapa
kelas interval, sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini.
Demikian juga mengenai jumlah susunan organisasi disesuaikan dengan beban tugas
masing-masing perangkat daerah.
Perubahan
nomenklatur Bagian Tata Usaha pada Dinas dan Badan menjadi Sekretariat
dimaksudkan untuk lebih memfungsikannya sebagai unsur staf dalam rangka
koordinasi penyusunan program dan penyelenggaraan tugas-tugas Bidang secara
terpadu dan tugas pelayanan administratif. Bidang pengawasan, sebagai salah
satu fungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam rangka
akuntabilitas dan objektifitas hasil pemeriksaan, rnaka nomenklaturnya menjadi Inspektorat
Provinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota dan dipimpin oleh Inspektur, yang dalam
pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada kepala daerah.
Selain itu,
eselon kepala bidang pada dinas dan badan perangkat daerah kabupaten/kota diturunkan
yang semula eselon IIIa menjadi eselon IIIb, dimaksudkan dalam rangka penerapan
pola pembinaan karir, efisiensi, dan penerapan koordinasi sesuai peraturan
perundang-undangan di bidang kepegawaian, namun demikian bagi pejabat yang
sudah atau sebelumnya memangku jabatan eselon IIIa, sebelum Peraturan Pemerintah
ini ditetapkan kepada yang bersangkutan tetap diberikan hak-hak kepegawaian dan
hak administrasi lainnya dalam jabatan struktural eselon IIIa, walaupun
organisasinya menjadi eselon IIIb, dan jabatan eselon IIIb tersebut efektif
diberlakukan bagi pejabat yang baru dipromosikan memangku jabatan berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini.
Beberapa
perangkat daerah yaitu yang menangani fungsi pengawasan, kepegawaian, rumah
sakit, dan keuangan, mengingat tugas dan fungsinya merupakan amanat peraturan
perundang-undangan, maka perangkat daerah tersebut tidak mengurangi jumlah
perangkat daerah yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini, dan pedoman
teknis mengenai organisasi dan tata icerja diatur tersendiri. Pembinaan dan
pengendalian organisasi dalam Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan dalam rnngka
penerapan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi antardaerah dan
antarsektor, sehingga masing-masing pemerintah daerah taat asas dan taat norma
dalam penataan kelembagaan perangkat daerah. Dalam ketentuan ini pemerintah
dapat membatalkan peraturan daerah tentang perangkat daerah yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan dengan konsekuensi pembatalan hak-hak keuangan
dan kepegawaian serta tindakan administratif lainnya. Dalam pelaksanaan
pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah, pemerintah senantiasa
melakukan fasilitasi melalui asistensi, pemberian arahan, pedoman, bimbingan, supervisi,
pelatihan, serta kerja sama, sehingga sinkronisasi dan simplifikasi dapat
tercapai secara optimal dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, Diatur
pula dalam Peraturan Pemerintah ini mengenai pembentukan lembaga lain dalam
rangka melaksanakan kebijakan Pemerintah, sebagai bagian dari perangkat daerah,
seperti sekretariat badan narkoba provinsi, kabupaten dan kota, sekretariat
komisi
penyiaran, serta lembaga
lain untuk mewadahi penanganan tugas tugas pemerintahan umum yang harus
dilaksanakan oleh pemerintah daerah, namun untuk pengendaliannya, pembentukannya
harus dengan persetujuan perrierintah atas usul kepala daerah.
Pengertian
pertanggungjawaban kepala dinas, sekretaris DPRD, dan kepala badan/kantor/direktur
rumah sakit daerah melalui sekretaris daerah adalah pertanggungjawaban administratif
yang meliputi penyusunan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring,
evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan tugas dinas daerah, sekretariat DPRD dan
lembaga teknis daerah, dengan demikian kepala dinas, sekretaris DPRD, uan
kepala badan/kantor/direktur rumah sakit daerah bukan merupakan bawahan
laragsung sekretaris daerah.
Dalam irnplementasi
penataan kelembagaan perangkat daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini
menerapkan prinsip-prinsip organisasi, antara lain visi dan misi yang jelas,
pelembagaan fungsi staf dan fungsi lini serta fungsi pendukung secara tegas,
efisiens dan efektifitas, rentang kendali serta tata kerja yang jelas.
F.
Makna
UU No. 23 Tahun 2014
Amanah Konstitusi ini pada UU no 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dijabarkan lebih lanjut pada Pasal 2 bahwa: Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas Daerah provinsi, dan Daerah provinsi itu dibagi
atas Daerah kabupaten dan kota. Pasal 3 menegaskan bahwa Daerah provinsi dan
kabupaten/kota merupakan Daerah dan masing-masing mempunyai Pemerintahan
Daerah. Secara jelas dalam pasal 8 diuraikan bahwa pembinaan dan pengawasan
(Binwas) untuk semua penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah
dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Sedangkan Gubernur selaku Wakil
Pemerintah Pusat di daerah melakukan Binwas atas penyelenggaraan urusan
pemerintahan di Provinsinya. Konsep Desentralisasi dalam UU no 23/2014 ini
adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah
otonom.. Sedangkan pengertian Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Urusan Pemerintah Pusat apa sajakah yang diserahkan kepada Pemerintah
Daerah Provinsi dan Pemerintah daerah Kabupaten/Kota? Urusan Pemerintahan
Secara garis besar ada 3 (tiga) urusan Pemerintahan yang diatur dalam UU
23/2014 ini, yaitu Urusan Pemerintahan Absolut, Konkuren dan Umum. Urusan
pemerintahan Absolut adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat, seperti politik luar negeri; pertahanan keamanan,
yustisi, moneter dan fiskal nasional; dan agama. Urusan Umum adalah urusan yang
menjadi urusan pemerintahan baik di Pusat, Provinsi atau Kabupaten/ Kota,
seperti: penanganan konflik, pembinaan kebangsaan, kordinasi tugas antar
instansi Pemerintah, dll. Urusan Pemerintahan Konkuren adalah adalah Urusan
Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi
dan Pemerintah Daerah kabupaten/ kota. Urusan pemerintahan konkuren yang
diserahkan ke Daerah inilah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Urusan
Konkuren dibagi menjadi Urusan Wajib dan Urusan Pilihan. Sedangkan Urusan Wajib
dibagi menjadi Pelayanan Dasar dan Non Pelayanan Dasar. Urusan pemerintahan
Wajib dan menjadi Pelayanan Dasar ada 6 (enam) urusan, yaitu: pendidikan;
kesehatan; pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan
permukiman; ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan
sosial (psl 12).
Sehingga pada UU 23 tahun 2014 maka pembagian
kewenangan ini dimasukkan kedalam Lampiran UU 23 thn 2014 yang menjadi bagian
tidak terpisahkan dari UU ini. Desentralisasi dan Otonomi Daerah Sebagai
Ijab-Qobul Pada pasal 18 ditentukan bahwa Pemerintahan Daerah memprioritaskan
pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar.
Juga ditekankan bahwa Pelaksanaan Pelayanan Dasar pada Urusan Pemerintahan
Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar berpedoman pada standar pelayanan
minimal (SPM) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Dengan kata lain, Pemprov
dan Pemkab/Kota wajib memprioritaskan 6 (enam) urusan Pelayanan Dasar yang
disebut pada Pasal 12, yaitu : pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan
penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; ketenteraman,
ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan sosial. Artinya keenam program
pelayanan dasar ini mendapatkan prioritas pembiayaan, SDM, Sarana/prasarana,
dan manajemennya sehingga bisa berjalan baik ditingkat Provinsi dan Kabupaten/
Kota.
G.
Dinas
Kesehatan
1. Pengertian
Dinas Kesehatan
Dinas kesehatan adalah unsur pelaksana
otonomi daerah dalam bidang kesehatan dan dipimpin langsung oleh seorang kepala
dinas. Kepala dinas berkedudukan di bawah bupati serta bertanggung jawab
langsung pada bupati melalui sekretaris daerah.
2. Fungsi
Dinas Kesehatan
Fungsi
dinas kesehatan secara umum untuk meningkatkan upaya kesehatan masyarakat (UKM)
dan upaya kesehatan perorangan (UPK).
a. Upaya
kesehatan masyarakat (UKM)
Upaya kesehatan masyarakat adalah setiap
kegiatan yang dilakukan pemerintah dan atau masyarakat serta dunia usaha untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah timbulnya masalah
kesehatan di masyarakat . kegiatan ini terutama dilakukan oleh pemerintah dan
peran aktif masyarakat. Indikator keberhasilan UKM di ukur dari adanya :
1) Peningkatan
pemerataan dan jangkauan puskesmas dan jaringannya.
2) Peningkatan
cakupan pelayanan penduduk miskin di puskesmas dan jaringannya.
3) Peningkatan
jumlah dan kualitas sarana dan prasarana puskesmas dan jaringannya.
4) Peningkatan
cakupan pelayanan kesehatan dasar yaitu 6 (enam) upaya pokok dan perawatan
kesehatan masyarakat.
5) Proporsi
yang seimbang antara biaya operasional dan pemeliharaan
b. Upaya
kesehatan perorangan (UKP)
Upaya kesehatan perorangan adalah setipa
kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat serta dunia usaha
untuk menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, terutama
diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. Indikator
keberhasilan UKP di ukur dari adanya :
1) Peningkatan
cakupan pelayanan keluarga miskin di kelas III Rumah Sakit
2) Penambahan
atau tersedianya sarana dan prasarana RS di daerah tertinggal
3) Peningkatan
anggaran perbaikan sarana dan prasarana RS secara proposional.
4) Ketersediaan
obat dan perbekalan RS yang sesuai kebutuhan.
5) Peningkatan
pelayanan kesehatan rujukan
6) Proporsi
yang seimbang antara biaya operasional dan pemeliharaan.
H.
Konsep
Good Governance
Jika mengacu
pada program World Bank dan United Nation Development Program(UNDP),
orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good governance.
Pengertian good governance sering diartikan sebagai kepemerintahan yang
baik. Gunawan Sumodiningrat (1999: 251) menyatakan good governance adalah
upaya pemerintahan yang amanah dan untuk menciptakan good governance pemerintahan
perlu didesentralisasi dan sejalan dengan kaidah penyelenggaraan pemerintahan
yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sementara itu, World
Bank mendefinisikan good governance sebagai suatu penyelenggaraan
manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan
prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana
investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administrasi,
menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework
bagi tumbuhnya aktivitas usaha (Mardiasmo, 2002: 18).
Selanjutnya,
UNDP memberikan beberapa karakteristik pelaksanaan good governance, meliputi:
1. Participation. Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik
secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat
menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan
berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2. Rule of law. Kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa
pandang bulu.
3. Transparency. Tranparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh
informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung
dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.
4. Responsiveness. Lembaga-lembaga publik harus cepat tanggap dalam
melayani stakeholder.
5. Consensus orientation. Berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih
luas.
6. Equity. Setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama
untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan.
7. Efficiency and Effectiviness. Pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara
berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).
8. Accountability. Pertanggungjawaban kepada publik atas setiap
aktivitas yang dilakukan.
9. Strategic vision. Penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus
memiliki visi jauh ke depan.
I.
Tantangan
1.
Urusan
Kesehatan di era desentralisasi
Persoalan
yang timbul di era desentralisasi yaitu :
a. Urusan
kesehatan menjadi ketal dengan kepentingan politik lokal pemerintah daerah
setempat. Isu-isu tentang kesehatan selalu menjadi “dagangan” politik menjelang
pilkada dan tetap laris manis diterima oleh masyarakat.
b. Penunjukan
pimpinan lembaga yang bergerak di sektor kesehatan (Dinas Kesehatan dan RSUD)
kerap kali lebih mengedepankan pertimbangan politis ketimbang analisis
kompetensi, persyaratan minimal jabatan tanpa melalui proses fit and proper
test. Sebelum UU Rumah sakit berlaku, banyak dijumpai direktur rumah sakit
bukan seorang dokter sebagaimana terdapat seorang kepala dinas kesehatan yang
berlatar belakang pendidikan sarjana agama (S.Ag), hal ini terjadi karena
pemilihan lebih ke arah loyalitas ketimbang profesionalitas.
c. Munculnya
isue bahwa RSUD menjadi “sapi perahan” pemerintah daerah (terutama sebelum
adanya aturan RSUD harus menjadi PKK-BLUD), dinas kesehatan menjadi salah satu
unit penghasil yang berperan penting dalam menyumbang PAD sebuah daerah.
d. Adanya
kebingungan para pemangku kepentingan sektor kesehatan di daerah dengan adanya
“dua pihak” yang harus berpijak pada dua kaki di alam yang berbeda. Satu kaki
terkait dengan aturan-aturan birokarsi aparatur pemerintah harus tunduk dan
patuh terhadap ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh kementrian dalam
negeri (kemendagri), sementara satu kaki lagi harus tetap mempedomani standar
aturan dan ketentuan dari kementrian teknis sektor kesehatan yaitu kementrian
kesehatan (kemenkes).
e. Meskipun
standar SDM dan standar kompetensi telah di atur oleh kemenkes, namun persoalan
krusial menyangkut standar penghasilan tenaga kesehatan masih diserahkan kepada
kemampuan pemerintah daerah masing-masing. Akibatnya apa? Terjadinya disparitas
yang terlalu jauh terhadap kesejahteraan tenaga kesehatan terkait reward antara
daerah yang kaya dengan daerah yang masih tertinggal. Begitu juga dengan
standar kebutuhan SDM yang masih bervariasi antar daerah satu dengan yang
lainnya menjadi persoalan tersendiri sehingga jika kita melihat seberan tenaga
dokter khususnya dokter spesialis di indonesia pada hari ini yang tidak merata,
maka inilah salah satu faktor penyebabnya.
f. Kemenkes
selaku regulator bidang kesehtan sebetulnya telah banyak mengeluarakan aturan,
ketentuan, pedoman dan standarisasi dengan tujuan agar pelayanan kesehatan akan
dirasakan sama dan merata oleh masyarakat dari sabang sampai merauke. Namun
fakta dilapangan, banyak hal yang berbenturan dengan aturan-aturan lokal daearh
seperti perda, perbup dan kepbud (PERKADA). Fungsi pengawasan dan kontrol oleh
Dinas Kesehatan masih lemah karena meskipun memiliki instrumen yang jelas dari
kemenkes namun tetap sulit karena berbenturan dengan kepentingan politis lokal.
2.
Rumah
sakit jadi UPT Dinas Kesehatan
Persoalan
yang timbul jika rumah sakit jadi UPT dinas kesehatan yaitu :
a. Bagaimana
dengan status BLUD sebuah RSUD ?
Ada kemungkinan akan batal demi
hukum apabila belum ada Peraturan Kepala Daerah (PERKADA) tentang BLUD secara
umum karena berubahnya status badan hukum Rumah Sakit dari sebelumnya adalah
sebagai Lembaga Teknis Daerah berubah menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD).
b. Bagaimana
dengan RSUD yang kebetulan saat ini masih menjadi pusat pendidikan kedokteran ?
Perlu dipahami bahawa kondisi saat
ini di indonesia tidak semua rumah sakit yang digunakan sebagai pusat
pendidikan kedokteran adalah milik kementrian kesehatan atau RSUP. Sebagai
contoh RUSD Dr. Moewardi Surakarta adalah rumah sakit daerah milik Pemerintah
provinsi jawa tengah yang menjadi pusat pendidikan klinis FK UNS dan RSUD Dr.
Soetomo Surabaya adalah rumah sakit daerah milik Pemerintah provinsi jawa timur
yang menjadi pusat pendidikan klinis FK UNAIR. Meskipun saat ini sudah didorong
setiap fakultas kedokteran sebuah universitas harus memiliki rumah sakit
pendidikan (Teaching Hospital) sendiri yang terpisah dengan rumah sakit
pelayanan (services hospital), namun faktanya dari contoh kedua rumah sakit
daerah tersebut sampai saat ini masih dipergunakan sebagai pusat pendidikan
dokter khususnya pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Berdasarkan fakta yang ada
akan timbul banyak persoalan tentang perubahan status dan badan hukum kedua
rumah sakit tersebut.
3.
Tahun
2014
Masalah
yang timbul di keluarkan kebijakan tersebut yaitu :
a. Dinas
kesehatan kabupaten/kota belum dapat berfungsi sebagai regulasi yang baik untuk
terwujudnya good dovernance
Terkait ditetapkannya UU No. 23
tahun 2014 yang pertama adalah bagaimana keberadaan dinas kesehatan di
kabupaten/kota terkait dengan pasal 217 ayat (2) tentang klasifikasi
pembentukan dinas sebagai kelengkapan perangkat daerah. Dimana urusan
pemerintah di sektor kesehatan merupakan salahsatu urusan wajib yang
kewenangannya di bagi antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Wilayah
provinsi dan kabupaten/kota di indonesia memiliki kondisi yang sangat beragam,
baik jumlah penduduk, luas wilayah provinsi dan kabupaten/kota di indonesia
memiliki kondisi yang sangat beragam, baik jumlah struktur organisasi dinas
kesehatn juga harus mengikuti klasifikasi tipe organisasi sesuai yang
ditentukan. Masalah kedua terkait dengan pasal 354, dimana di dalam
penyelenggaraan pemerintah di daerah pemerintah daerah diwajibkan mendorong
partisipasi masyarakat. Sedangkan pasal 345 mensyaratkan bahwa pemerintah
daerah wajib membangun manajemen pelayanan publik yang meliputi pelaksanaan
pelayanan, pengelolaan pengaduan masyarakat, pelayanan konsultasi dan pelayanan
publik lainnya sesuai ketentuan.
Kondisi sat ini peran dan fungsi
dinas kesehtan belum berfungsi dengan optimal sebagai regulator pembangunan
kesehtan, sebagai contoh masih banyaknya gap antara targetdan cairan SPM yang
belum tercapai, disiplin dan kinerja pegawai yang masih bermasalah, adanya
temuan kasus administrasi penatausahaan keuangan dan inventarisasi barang milik
negara yang dampak pada kasusu hukum. Menghadapi tantangan dan sekaligus tugas
kewajiban yang harus diemban dinas kesehatan sebagai satuan kerja perangkat
daerah yang bertanggung jawab bidang kesehatan tersebut, maka dinas kesehatan
kabupaten/kota harus melakukan reformasi birokrasi agar dapat menjalankan
regulasi embangunan kesehtan sesuai harapan.
b. Masalah
perencanaan dan penggangaran bidang kesehatan
Adapun permasalahan terkait
permenkes No. 7 tahun 2014 tentang perencanaan dan penganggaran bidang
kesehatan adalah bagaimana optimalisasi peran dan fungsi dinas kesehatan
kabupaten/kota di dalam penyusun perencanaan dan penganggaran, karena
keberhasilan pembangunan kesehatan sangat ditentukan oleh kualitas perencanaan
dan penggaran yang baik, tepat sasaran dan efisien. Sedangkan kondisi saat ini
proses penyusunan perencanaan yang singkat dan tergesa-gesa. Di samping itu,
dinas kesehatan kabupaten/kota juga harus mendorong dan memberdayakan fungsi
pukesmas terkait dengan permenkes No. 75 tahun 2014 tentang pusat kesehtan
masyarakat. Dimana hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi dinas kesehtan
kabupaten/kota untuk mewujudkan paradigma baru yaitu kecematan sehat dengan
enam prinsip penyelenggaraannya yaitu paradigma sehat, pertanggungjawaban
wilayah, kemandirian masyarakat, pemerataan, teknologi tepat guna dan prinsip
keterpaduan serta kesinambungan. Kondisi puskesmas sebagai unit pelaksana
teknis dinas kesehatan kabupaten/kota saat ini memiliki beragam bentuk tanpa
adanya standarisasi.
4.
Tahun
2015
Berdasarkan
dua (2) kebijakan yang ada tahun 2014, akan timbul beberapa kemungkinan yaitu :
a. Dinas
Kesehatan fungsinya sebatas sebagai “Operator” pembangunan dibidang kesehatan.
Kemungkinan ini terjadi jika dinas
kesehatan kabupaten/kota tidak mengubah mindset dan strategi kebijakannya.
Tantangan yang selama ini menjadi ancaman dinas kesehatan kabupaten/kota
semakin sulit untuk dikelola dengan baik, bahkan tantangan tersebut semakin
meningkat gradasi dan akselerasinya. Hambatan dan tantangan tersebut antara
lain sistem kesehtan di daerah, perubahan peran pemerintah daerah, pembiayaan
kesehatan, perubahan terkait determinan sosial dan tantangan kesehatan global.
b. Dinas
Kesehatan berfungsi sebagai “Regulator” pembangunan kesehatan di daerah
Kemungkinan ini terjadi kalau dinas
kesehatan melakukan reformasi birokarsi dan good governance di dalam menghadapi
tantangan dan ancaman tersebut. Reformasi birokarsi dan good governance
merupakan dua konsep utama didalam memperbaiki kondisi penyelenggaraan
administrasi yang tidak hanya efektif dan efisisen tapi juga menjadi tulang pungung
dalam tat laksana administrasi di dinas kesehatan. Akhirnya keberhasilan
penataan reformasi birokarsi akan sangat mendukung terciptanya good governance.
Karena reformasi birokarsi merupakan inti dari terciptanya good governance,
maka keberhasilan dari pelaksanaan reformasi birokrasi sangat ditentukan oleh
komitmen dan leadership dari pejabat di dinas kesehatan dan jajarannya. Adapun
reformasi birokrasi dinas kesehatan dilakukan melalui dua strategi yaitu (1)
merevitalisasi kedudukan, peran dan fungsi kelembagaan yang menjadi motor
penggerak reformasi administrasi, dan (2) menata kembali sistem administrasi
dalam struktur proses, SDM serta hubungan lintas sektoral.
5.
PP 38 dan PP 41/2007
Departemen
Kesehatan mempunyai kelompok organisasi yang menjadi regulator dan penetap
kebijakan. Dalam Gambar 1 terlihat perubahan yang dilihat dalam konteks
hubungan antara pusat, propinsi, dan kabupaten khususnya antara dinas kesehatan
dengan rumahsakit, termasuk rumahsakit pemerintah. Keadaan sebelum
desentralisasi (sebelum PP No.38/2007 UKP melalui Ditjen Binkesmas dan Ditjen
Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan. Dengan adanya PP No.25/2000 dan UU
No.32/2004 bahwa rumah sakit dapat berbentuk badan di luar Dinas Kesehatan,
terjadi pemisahan antara rumahsakit dan dinas kesehatan. Akibatnya di daerah
seolah ada dua kelompok berbeda: rumahsakit dan dinas kesehatan.
Gambar
1. Suasana Sebelum Desentralisasi
Keadaan yang diharapkan PP No.38/2007
dan PP No.41/2007 adalah dinas kesehatan menjadi pelaku sentral untuk pengawas,
pembinaan, pelaksanaan, pembiayaanUKM dan UKP. Rumahsakit sebagai pemberi UKP
merupakan lembaga yang harus diawasi dan membutuhkan perizinan, termasuk
rumahsakit pemerintah. Ditjen Binkesmas dan Ditjen Bina Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan diharapkan lebih terpadu kebijaksanaannya. Diharapkan pula
di level pusat ada penggabungan kedua Ditjen dan ada unit baru yang mengurusi
rumahsakit-rumahsakit sebagai operator.
J.
Strategi
Pengembangan Kebijakan
1.
Bagi
Dinas Kesehatan
a. Perubahan
mindset seluruh jajaran dinas kesehatan kesehatan tentang fungsi
regulasi,
b. pemahaman
yang benar tentang desentralisasi
c. Peningkatan
capacity building (peningkatan
kapasitas) untuk persiapan SDM.
d. Sebaiknya
menjadi regulator yang baik. Prasyarat untuk menjadi regulator yang baik:
1) Memahami
berbagai aturan hukum mengenai desentralisasi yang berdampak pada kesehatan,
2) Memahami
aplikasi good governance di sektor kesehatan;
3) Memahami
perubahan fungsi/peran dinas kesehatan setelah ada kebijakan desentralisasi;
dan
4) Menyediakan
dana yang cukup untuk melaksanakan kegiatan regulasi
2.
Bagi
Rumah Sakit
a. Memperkuat
kemampuan sebagai operator.
b. Memperbaiki
sistem manajemen Rumah Sakit.
c. Bersiap
menjadi operator yang baik, dan patuh terhadap regulasi/aturan yang ada.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
2. Fungsi dinkes secara umum sebagai upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perorangan.
3. Good governance adalah upaya pemerintahan yang amanah dan untuk
menciptakan good governance pemerintahan perlu didesentralisasi dan
sejalan dengan kaidah penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas
korupsi, kolusi, dan nepotisme.
B.
Saran
1. Pengorganisasian
pelaksanaan urusan kesehatan dalam revisi PP 38 dan PP 41 harus menempatkan
dinas kesehatan sebagai regulator/penyusun kebijakan di daerah.
2. Pengorganisasian
pelaksanaan urusan kesehatan perlu memisahkan fungsi regulator (steering)
dengan fungsi operator (rowing).
3. RSD
diharapkan mempunyai otonomi pengelolaan, namun bertanggung jawab dalam aspek
kesehatan ke dinas kesehatan. RSD merupakan obyek perijinan dalam hal ijin
lembaga dan ijin praktek tenaga kesehatannya. Jadi RSD bukan sebagai UPT Dinas
Kesehatan.
4. Pengorganisasian
pelaksanaan urusan kesehatan harus memberikan kewenangan bagi dinas kesehatan
untuk dapat mengawasi pelaksanaan JKN oleh BPJS Kesehatan di wilayahnya
masing-masing.
5. Mengingat
fungsi strategis Dinas Kesehatan: Pengorganisasian pelaksanaan urusan kesehatan
yang menempatkan dinas kesehatan sebagai regulator/penetap kebijakan, harus
didukung dengan remunerasi pimpinan dan staf DinKes yang lebih baik, dan
peningkatan kapasitas DinKes agar mampu menjalankan fungsi secara maksimal.
Saat ini fungsi ini belum berjalan.
No comments:
Post a Comment