Soal
: Patogenesis penyakit-penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, protozoa,
bakteri/kuman dan parasit.
JAWABAN
A.
Patogenesis
Penyakit DBD (Demam Berdarah Dengue)
Virus Dengue
yang ditularkan oleh nyamuk Aedes menyerang organ RES seperti sel kupfer di
sinusoid hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta
paru-paru. Dalam peredaran darah virus akan difagosit oleh monosit. Setelah
genom virus masuk ke dalam sel maka dengan bantuan organel-organel sel genom virus
akan memulai membentuk komponen-komponen strukturalnya.setelah berkembang biak
di dalam sitoplasma sel maka virus akan dilepaskan dari sel.
Diagnosis pasti
dengan uji serologis pada infeksi virus dengue sulit dilakukan karena semua
flavivirus memiliki epitope pada selubung protein yang menghasilkan “cross
reaction” atau reaksi silang. Infeksi oleh satu serotipe virus DEN menimbulkan
imunitas protektif terhadap serotipe tersebut, tetapi tidak ada “cross
protektif” terhadap serotipe virus yang lain. Virion dari virus DEN
ekstraseluler terdiri dari protein C (capsid), M (membran) dan E (envelope).
Virus intraseluler terdiri dari protein pre-membran atau pre-M.Glikoprotein E
merupakan epitope penting karena: mampu membangkitkan antibodi spesifik untuk
proses netralisasi, mempunyai aktifitas hemaglutinin, berperan dalam proses
absorbsi pada permukaan sel, (reseptor binding), mempunyai fungsi fisiologis
antara lain untuk fusi membran dan perakitan virion. Secara in vitro antibodi
terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi fisiologis: netralisasi virus, sitolisis
komplemen, Antibodi Dependent Cell-mediated Cytotoxicity (ADCC) dan Antibodi
Dependent Enhancement. Secara invivo antibodi terhadap virus DEN berperan dalam
2 hal yaitu:
1.
Antbodi netralisasi memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi
infeksi virus.
2.
Antibodi non netralising memiliki peran cross-reaktif dan dapat
meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS
Perubahan
patofidiologis dalam DBD dan DSS dapat dijelaskan oleh 2 teori yaitu hipotesis
infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan hipotesis
antibody dependent enhancement (ADE). Teori infeksi sekunder menjelaskan bahwa apabila
seseorang mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, maka akan terdapat
kekebalan terhadap infeksi virus jenis tersebut untuk jangka waktu yang lama.
Pada infeksi
primer virus dengue antibodi yang terbentuk dapat menetralisir virus yang sama
(homologous). Namun jika orang tersebut mendapat infeksi sekunder dengan jenis
virus yang lain, maka virus tersebut tidak dapat dinetralisasi dan terjadi infeksi
berat. Hal ini disebabkan terbentuknya kompleks yang infeksius antara antibodi
heterologous yang telah dihasilkan dengan virus dengue yang berbeda. Selanjutnya
ikatan antara kompleks virus-antibodi (IgG) dengan reseptor Fc gama pada sel
akan menimbulkan peningkatan infeksi virus DEN. Kompleks antibodi meliputi sel
makrofag yang beredar dan antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi dan internalisasi
sehingga makrofag akan mudah terinfeksi sehingga akan memproduksi IL-1, IL-6
dan TNF α dan juga “Platelet Activating Factor”.
Selanjutnya
dengan peranan TNFα akan terjadi kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya
plasma ke jaringan tubuh karena endothel yang rusak, hal ini dapat berakhir
dengan syok. Proses ini juga menyertakan komplemen yang bersifat vasoaktif dan prokoagulan
sehingga menimbulkan kebosoranplasma dan perdarahan yang dapat mengakibatkan
syok hipovolemik. Pada bayi dan anak-anak berusia dibawah 2 tahun yang lahir
dari ibu dengan riwayat pernah terinfeksi virus DEN, maka dalam tubuh anak
tersebut telah terjadi “Non Neutralizing Antibodies” sehingga sudah terjadi
proses “Enhancing” yang akan memacu makrofag sehingga mengeluarkan IL-6 dan TNF
α juga PAF. Bahan-bahan mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel
pembuluh darah dan sistem hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma
dan perdarahan.
Pada teori kedua
(ADE) , terdapat 3 hal yang berkontribusi terhadap terjadinya DBD dan DSS yaitu
antibodies enhance infection, T-cells enhance infection, serta limfosit T dan
monosit. Teori ini menyatakan bahwa jika terdapat antibodi spesifik terhadap
jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya
apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh tidak dapat menetralisir penyakit,
maka justru dapat menimbulkan penyakit yang berat.
Disamping kedua
teori tersebut, masih ada teori-teori lain yang berusaha menjelaskan
patofisiolog DBD, diantarnya adalah teori virus yang mendasarkan pada perbedaan
keempat serotipe virus Dengue yang ditemukan berbeda antara satu daerah dengan
yang lainnya. Sedangkan teori antigen-antibodi mendasarkan pada kenyataan bahwa
terjadi penurunan aktifitas sistem komplemen yang ditandai dengan penurunan C3,
C4, dan C5. teori juga didukung dengan adanya pengaruh kompleks imun pada
penderita DBD terhadap aktifitas komponen sistem imun.
Penelitian oleh
Azaredo El dkk, 2001 membuktikan bahwa patogenesis DBD/DSS umumnya disebabkan oleh
disregulasi respon imunologik. Monosit/makrofag yang terinfeksi virus Dengue
akan mensekresi monokin yang berperan dalam patogenesis dan gambaran klinis
DBD/DSS.
Penelitian
invitro oleh Ho LJ dkk 2001 menyebutkan bahwa Dendritic Cell yang terinfeksi virus
dengue dapat mengekspresi antigen HLA B7-1, B7-2, HLA-DR, CD11b dan CD83. Dendritic
Cell yang terinfeksi virus dengue ini sanggup memproduksi TNF-α dan IFN-γ namun
tidak mensekresi IL-6 dan IL-2. Oberholzer dkk,2002 menjelaskan bahwa IL-10
dapat menekan proliferasi sel T. Pada infeksi fase akut terjadi penurunan
populasi limfosit CD2+, CD4+, dan CD8+. Demikian pula juga didapati penurunan
respon prroliferatif dari sel-sel mononuklear. Di dalam plasma pasien DBD/DSS
terjadi peningkatan konsentrasi IFN-γ, TNF-α dan IL-10. peningkatan TNF-α berhubungan
dengan manifestasi perdarahan sedangkan IL-10 berhubungan dengan penurunan
trombosit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi penekanan jumlah dan fungsi
limfosit T, sedangkan sitokin proinflamasi TNF-α berperan penting dalam keparahan
dan patogenesis DBD/DSS, dan meningkatnya IL-10 akan menurunkan fungsi limfosit
T dan trombosit.
Lei HY dkk, 2001
menyatakan bahwa infeksi virus dengue akan mempengaruhi sistem imun tubuh
berupa perubahan rasio CD4/CD8, overproduksi dari sitokin dan dapat menginfeksi
sel-sel endothel dan hepatosit yang akan menyebabkan terjadinya apoptosis dan disfungsi
dari sel-sel tersebut. Demikian pula sistem koagulasi dan fibrinolisis yang
ikut teraktivasi. Kerusakan trombosit akibat darimreaksi silang otoantibodi
anti-trombosit, karena overproduksi IL-6 yang berperan besar dalam terbentuknya
antibodi antitrombosit dan anti-sel endotel, serta meningkatnya level dari tPA
dan defisiensi koagulasi.
Sehingga dapat
disimpulkan bahwa kebocoran plasma pada DBD/DSS merupakan akibat dari proses
kompleks yang melibatkan aktivasi komplemen, induksi kemokin dan kematian sel
apoptosis. Dugaan bahwa IL-8 berperan penting dalam kebocoran plasma dibuktikan
secara invitro oleh Bosch dkk (2002) melalui kultur primer monosit manusia yang
diinfeksi oleh virus DEN-2, diperkirakan hal ini disebabkan aktifasi dari
NF-kappa 8. Penelitian dari Bethel dkk (1998) terhadap anak di vietnam dengan
DBD dan DSS menyebutkan terjadi penurunan level IL-6 dan soluble intercelluler molecule-1
pada anak dengan DSS. Ini berarti ada kehilangan protein dalam sirkulasi karena
kebocoran plasma.
B.
Patogenesis
Penyakit Malaria
Patogenesis
malaria lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh
darah dari pada koagulasi intravaskular. Oleh karena skizogeni menyebabkan
kerusakan eritrosit. Akan terjadi anemia. Beratnya anemia yang tidak sebanding
dengan parasitemia menunjukan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung
parasit. Pada percobaan binatang dibuktikan adanya gangguan transportasi
natrium sehingga keluar dari eritrosit yang mengandung parasit dan tanpa
parasit malaria. Diduga terdapat toksin malaria yang menyebabkan gangguan
fungsi eritrosit dan sebagaian eritrosit pecah saat melalui limfa dan keluarlah
parasit.
Faktor
lain yang menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya antibodi
terhadap eritrosit. Suatu bentuk khusus anemia hemolitik pada malaria
adalah black water fever, adalah suatu bentuk malaria berat yang
disebabkan oleh Plasmodium falcifarum, yang ditandai oleh adanya
hemolisis intravaskuler berat, hemoglobinuria, kegagalan ginjal mendadak
sebagai akibat nekrosis tubulus, disertai angka kematian yang tinggi.
Telah
lama dicurigai bahwa Kina dapat memprovokasi terjadinya black water fever.
Sebagai tambahan, kasus meninggal yang disebabkan malaria selalu menunjukkan
adanya perubahan yang menonjol dari retikuloendotelial dan mungkin juga
melibatkan berbagai sistem organ.Limfa membesar, mengalami
pembendungan dan pigmentasi sehingga mudah pecah. Dalam limfa dijumpai banyak
parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang
terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hiperplasi
dari retikulum disertai peningkatan makrofag.
Pada
sindrom pembesaran limfa di daerah tropis atau penyakit pembesaran limfa pada
malaria kronis biasanya dijumpai bersama dengan peningkatan kadar IgM. Peningkatan
antibodi terhadap malaria ini mungkin menimbulkan respons imunologis yang tidak
lazim pada malaria kronis. Pada malaria juga terjadi pembesaran hepar, sel
Kuffer seperti sel dalam sistem retikuloendotelial terlibat dalam respon
fagositosis. Sebagai akibatnya hati menjadi berwarna kecoklatan agak kelabu
atau kehitaman. Pada malaria kronis terjadi infiltasi difus oleh sel
mononukleus pada periportal yang meningkat sejalan dengan berulangnya serangan
malaria. Hepatomegali dengan infiltrasi sel mononukleus merupakan bagian dari
sindrom pembesaran hati di daerah tropis. Nekrosis sentrilobulus terjadi pada
syok.
Terjadinya
infeksi oleh parasit Plasmodium ke dalam tubuh manusia dapat terjadi melalui
dua cara yaitu :
1. Secara alami melalui gigitan nyamuk
anopheles betina yang mengandung parasit malaria
2. Induksi yaitu jika stadium aseksual
dalam eritrosit masuk ke dalam darah manusia, misalnya melalui transfuse darah,
suntikan, atau pada bayi yang baru lahir melalui plasenta ibu yang terinfeksi
(congenital).
C.
Patogenesis
Penyakit TBC
Patogenesis
penyakit TBC ada 4 tahap yaitu terdiri dari :
1. Tahap inkubasi
Tahap
inkubasi merupakan tenggang diwaktu antara masuknya bibit penyakit ke dalam
tubuh yang peka terhadap penyebab penyakit, sampai timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi ini bervariasi antara satu penyakit dengan penyakit lainnya.
Dan pengetahuan tentang lamanya masa inkubasi ini sangat penting, tidak sekadar
sebagai pengetahuan riwayat penyakit, tetapi berguna untuk informasi diagnosis.
Setiap penyakit mempunyai masa inkubasi tersendiri, dan pengetahuan masa
inkubasi dapat dipakai untuk identifikasi jenis penyakitnya.Masa inkubasi dari
penyakit TBC yaitu mulai terinfeksi samapi menjadi sakit diperkirakan 4-12
minggu
2. Tahap penyakit dini
Tahap ini
mulai dengan munculnya gejala penyakit yang kelihatannya ringan. Tahap ini
sudah mulai menjadi masalah kesehatan karena sudah ada gangguan patologis,
walaupun penyakit masih dalam masa subklinis. Pada tahap ini, diharapkan
diagnosis dapat ditegakkan secara dini . Gejalanya seperti
a. Demam tidak
terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai
keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat
hilang timbul.
b. Penurunan
nafsu makan dan berat badan.
c. Batuk-batuk
selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
d. Perasaan
tidak enak (malaise), lemah.
3. Tahap penyakit lanjut
Pada tahap
ini penyakit bertambah jelas dan mungkin bertambah berat dengan segala kelainan
klinik yang jelas, sehingga diagnosis sudah relatif mudah ditegakkan.
Saatnya pula, setelah diagnosis ditegakkan, diperlukan pengobatan yang tepat
untuk menghindari akibat lanjut yang kurang baik dengan Gejala
a. Tergantung
dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus
(saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang
membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai
sesak.
b. Ada cairan
dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan
sakit dada. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi
tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di
atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
c. Pada
anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis
(radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan
kesadaran dan kejang-kejang.
4. Tahap penyakit akhir
Berakhirnya
perjalanan penyakit dapat berada dalam lima pilihan keadaan, yaitu:
a. Sembuh sempurna, yakni bibit penyakit menghilang dan tubuh
menjadi pulih, sehat kembali.
b. Sembuh
dengan cacat, yakni bibit penyakit menghilang, penyakit sudah tidak ada, tetapi
tubuh tidak pulih sepenuhnya, meninggalkan bekas gangguan yang permanen berupa
cacat.
c. Karier, di mana tubuh penderita pulih kembali, namun penyakit masih tetap
ada dalam tubuh tanpa memperlihatkan gangguan penyakit
d. Penyakit tetap berlangsung secara kronik.
e. Berakhir dengan kematian.
D.
Patogenesis
Penyakit Filariasis
Penyakit
kaki gajah disebabkan oleh cacing dari kelompok nematoda, yaitu Wucheraria
bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Ketiga jenis cacing
tersebut menyebabkan penyakit kaki gajah dengan cara penularan dan gejala
klinis, serta pengobatan yang sama. Cacing betina akan menghasilkan
(melahirkan) larva, disebut mikrofilaria, yang akan bermigrasi kedalam sistem
peredaran darah. Penyakit kaki gajah terutama disebabkan karena adanya cacing
dewasa yang hidup di saluran getah bening. Cacing tersebut akan merusak saluran
getah bening yang mengakibatkan cairan getah bening tidak dapat tersalurkan
dengan baik sehingga menyebabkan pembengkakan pada tungkai dan lengan. Cacing
dewasa mampu bertahan hidup selama 5-7 tahun di dalam kelenjar getah bening.
Filariasis
atau elephantiasis atau penyakit kaki gajah adalah penyakit
yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan
nyamuk. Penyakit ini tersebar luas di pedesaan dan perkotaan. Dapat menyerang
semua golongan tanpa mengenal usia dan jenis kelamin.
Patogenesis
penyakit filariasis ada 3 fase yaitu :
1. Fase
Subklinis
Fase ini disebut juga
dengan pre-symtomatic, dimana perubahan faali atau system dalam tubuh
manusia (proses terjadinya sakit) telah terjadi, namun perubahan tersebut tidak
cukup kuat untuk menimbulkan keluhan sakit dan pada umumnya pencarian pengobatan
belum dilakukan. Akan tetapi jika dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan
alat-alat kesehatan seperti pemeriksaan mikroskopis darah pada waktu malam
hari, maka akan ditemukan mikrofilaria dalam tubuh mereka. Begitu pula jika meminum
obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) yang sedang digalakkan
oleh pemerintah dalam program eliminasi penyakit kaki gajah, akan timbul
efek samping seperti sakit kepala, sakit tulang atau otot, pusing, anoreksia,
muntah, demam, dan alergi yang menandakan terdapat microfilaria dalam tubuh
mereka.
2. Fase
Klinis
Pada fase ini perubahan-perubahan
yang terjadi pada jaringan tubuh telah cukup untuk memunculkan gejala-gejala
(symptoms) dan tanda-tanda (signs) penyakit. Adapun gejala akut yang dapat
terjadi antara lain :
a. Demam berulang-ulang selama 3-5
hari, demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat.
b. Pembengkakan kelenjar getah bening
(tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiak (lymphadenitis) yang tampak
kemerahan, panas dan sakit
c. Radang saluran kelenjar getah bening
yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal
lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis).
d. Filarial abses akibat seringnya
menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah
serta darah.
e. Pembesaran tungkai, lengan, buah
dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early
lymphodema).
3. Fase
Konvalesens
Merupakan tahap akhir dari fase
klinis yang dapat berupa fase konvalesens (penyembuhan) dan meninggal. Fase
konvalesens dapat berkembang menjadi sembuhtotal, sembuh dengan cacat atau
gejala sisa (disabilitas atau sekuele). Filariasis dapat disembuhkan jika
diobati sedini mungkin, namun jika tidak mendapatkan pengobatan dapat mengakibatkan
Disabilitas (kecacatan atau ketidakmampuan) karena terjadi penurunan fungsi
sebagian struktur atau organ tubuh, yaitu berupa pembesaran kaki, lengan, dan
alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki sehingga menurunkan fungsi
aktivitas seseorang secara keseluruhan.
No comments:
Post a Comment