Ani Romaningsih: Patogenesis penyakit-penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, protozoa, bakteri/kuman dan parasit.

Sunday, October 4, 2015

Patogenesis penyakit-penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, protozoa, bakteri/kuman dan parasit.



Soal : Patogenesis penyakit-penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, protozoa, bakteri/kuman dan parasit.
JAWABAN
A.    Patogenesis Penyakit DBD (Demam Berdarah Dengue)
Virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes menyerang organ RES seperti sel kupfer di sinusoid hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Dalam peredaran darah virus akan difagosit oleh monosit. Setelah genom virus masuk ke dalam sel maka dengan bantuan organel-organel sel genom virus akan memulai membentuk komponen-komponen strukturalnya.setelah berkembang biak di dalam sitoplasma sel maka virus akan dilepaskan dari sel.
Diagnosis pasti dengan uji serologis pada infeksi virus dengue sulit dilakukan karena semua flavivirus memiliki epitope pada selubung protein yang menghasilkan “cross reaction” atau reaksi silang. Infeksi oleh satu serotipe virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotipe tersebut, tetapi tidak ada “cross protektif” terhadap serotipe virus yang lain. Virion dari virus DEN ekstraseluler terdiri dari protein C (capsid), M (membran) dan E (envelope). Virus intraseluler terdiri dari protein pre-membran atau pre-M.Glikoprotein E merupakan epitope penting karena: mampu membangkitkan antibodi spesifik untuk proses netralisasi, mempunyai aktifitas hemaglutinin, berperan dalam proses absorbsi pada permukaan sel, (reseptor binding), mempunyai fungsi fisiologis antara lain untuk fusi membran dan perakitan virion. Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi fisiologis: netralisasi virus, sitolisis komplemen, Antibodi Dependent Cell-mediated Cytotoxicity (ADCC) dan Antibodi Dependent Enhancement. Secara invivo antibodi terhadap virus DEN berperan dalam 2 hal yaitu:
1.    Antbodi netralisasi memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi infeksi virus.
2.    Antibodi non netralising memiliki peran cross-reaktif dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS
Perubahan patofidiologis dalam DBD dan DSS dapat dijelaskan oleh 2 teori yaitu hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan hipotesis antibody dependent enhancement (ADE). Teori infeksi sekunder menjelaskan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, maka akan terdapat kekebalan terhadap infeksi virus jenis tersebut untuk jangka waktu yang lama.
Pada infeksi primer virus dengue antibodi yang terbentuk dapat menetralisir virus yang sama (homologous). Namun jika orang tersebut mendapat infeksi sekunder dengan jenis virus yang lain, maka virus tersebut tidak dapat dinetralisasi dan terjadi infeksi berat. Hal ini disebabkan terbentuknya kompleks yang infeksius antara antibodi heterologous yang telah dihasilkan dengan virus dengue yang berbeda. Selanjutnya ikatan antara kompleks virus-antibodi (IgG) dengan reseptor Fc gama pada sel akan menimbulkan peningkatan infeksi virus DEN. Kompleks antibodi meliputi sel makrofag yang beredar dan antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi dan internalisasi sehingga makrofag akan mudah terinfeksi sehingga akan memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF α dan juga “Platelet Activating Factor”.
Selanjutnya dengan peranan TNFα akan terjadi kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya plasma ke jaringan tubuh karena endothel yang rusak, hal ini dapat berakhir dengan syok. Proses ini juga menyertakan komplemen yang bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebosoranplasma dan perdarahan yang dapat mengakibatkan syok hipovolemik. Pada bayi dan anak-anak berusia dibawah 2 tahun yang lahir dari ibu dengan riwayat pernah terinfeksi virus DEN, maka dalam tubuh anak tersebut telah terjadi “Non Neutralizing Antibodies” sehingga sudah terjadi proses “Enhancing” yang akan memacu makrofag sehingga mengeluarkan IL-6 dan TNF α juga PAF. Bahan-bahan mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel pembuluh darah dan sistem hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan.
Pada teori kedua (ADE) , terdapat 3 hal yang berkontribusi terhadap terjadinya DBD dan DSS yaitu antibodies enhance infection, T-cells enhance infection, serta limfosit T dan monosit. Teori ini menyatakan bahwa jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh tidak dapat menetralisir penyakit, maka justru dapat menimbulkan penyakit yang berat.
Disamping kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain yang berusaha menjelaskan patofisiolog DBD, diantarnya adalah teori virus yang mendasarkan pada perbedaan keempat serotipe virus Dengue yang ditemukan berbeda antara satu daerah dengan yang lainnya. Sedangkan teori antigen-antibodi mendasarkan pada kenyataan bahwa terjadi penurunan aktifitas sistem komplemen yang ditandai dengan penurunan C3, C4, dan C5. teori juga didukung dengan adanya pengaruh kompleks imun pada penderita DBD terhadap aktifitas komponen sistem imun.
Penelitian oleh Azaredo El dkk, 2001 membuktikan bahwa patogenesis DBD/DSS umumnya disebabkan oleh disregulasi respon imunologik. Monosit/makrofag yang terinfeksi virus Dengue akan mensekresi monokin yang berperan dalam patogenesis dan gambaran klinis DBD/DSS.
Penelitian invitro oleh Ho LJ dkk 2001 menyebutkan bahwa Dendritic Cell yang terinfeksi virus dengue dapat mengekspresi antigen HLA B7-1, B7-2, HLA-DR, CD11b dan CD83. Dendritic Cell yang terinfeksi virus dengue ini sanggup memproduksi TNF-α dan IFN-γ namun tidak mensekresi IL-6 dan IL-2. Oberholzer dkk,2002 menjelaskan bahwa IL-10 dapat menekan proliferasi sel T. Pada infeksi fase akut terjadi penurunan populasi limfosit CD2+, CD4+, dan CD8+. Demikian pula juga didapati penurunan respon prroliferatif dari sel-sel mononuklear. Di dalam plasma pasien DBD/DSS terjadi peningkatan konsentrasi IFN-γ, TNF-α dan IL-10. peningkatan TNF-α berhubungan dengan manifestasi perdarahan sedangkan IL-10 berhubungan dengan penurunan trombosit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi penekanan jumlah dan fungsi limfosit T, sedangkan sitokin proinflamasi TNF-α berperan penting dalam keparahan dan patogenesis DBD/DSS, dan meningkatnya IL-10 akan menurunkan fungsi limfosit T dan trombosit.
Lei HY dkk, 2001 menyatakan bahwa infeksi virus dengue akan mempengaruhi sistem imun tubuh berupa perubahan rasio CD4/CD8, overproduksi dari sitokin dan dapat menginfeksi sel-sel endothel dan hepatosit yang akan menyebabkan terjadinya apoptosis dan disfungsi dari sel-sel tersebut. Demikian pula sistem koagulasi dan fibrinolisis yang ikut teraktivasi. Kerusakan trombosit akibat darimreaksi silang otoantibodi anti-trombosit, karena overproduksi IL-6 yang berperan besar dalam terbentuknya antibodi antitrombosit dan anti-sel endotel, serta meningkatnya level dari tPA dan defisiensi koagulasi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebocoran plasma pada DBD/DSS merupakan akibat dari proses kompleks yang melibatkan aktivasi komplemen, induksi kemokin dan kematian sel apoptosis. Dugaan bahwa IL-8 berperan penting dalam kebocoran plasma dibuktikan secara invitro oleh Bosch dkk (2002) melalui kultur primer monosit manusia yang diinfeksi oleh virus DEN-2, diperkirakan hal ini disebabkan aktifasi dari NF-kappa 8. Penelitian dari Bethel dkk (1998) terhadap anak di vietnam dengan DBD dan DSS menyebutkan terjadi penurunan level IL-6 dan soluble intercelluler molecule-1 pada anak dengan DSS. Ini berarti ada kehilangan protein dalam sirkulasi karena kebocoran plasma.

B.     Patogenesis Penyakit Malaria
Patogenesis malaria lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah dari pada koagulasi intravaskular. Oleh karena skizogeni menyebabkan kerusakan eritrosit. Akan terjadi anemia. Beratnya anemia yang tidak sebanding dengan parasitemia menunjukan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit. Pada percobaan binatang dibuktikan adanya gangguan transportasi natrium sehingga keluar dari eritrosit yang mengandung parasit dan tanpa parasit malaria. Diduga terdapat toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagaian eritrosit pecah saat melalui limfa dan keluarlah parasit.
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit. Suatu bentuk khusus anemia hemolitik pada malaria adalah black water fever, adalah suatu bentuk malaria berat yang disebabkan oleh Plasmodium falcifarum, yang ditandai oleh adanya hemolisis intravaskuler berat, hemoglobinuria, kegagalan ginjal mendadak sebagai akibat nekrosis tubulus, disertai angka kematian yang tinggi.
Telah lama dicurigai bahwa Kina dapat memprovokasi terjadinya black water fever. Sebagai tambahan, kasus meninggal yang disebabkan malaria selalu menunjukkan adanya perubahan yang menonjol dari retikuloendotelial dan mungkin juga melibatkan berbagai sistem organ.Limfa membesar, mengalami pembendungan dan pigmentasi sehingga mudah pecah. Dalam limfa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hiperplasi dari retikulum disertai peningkatan makrofag.
Pada sindrom pembesaran limfa di daerah tropis atau penyakit pembesaran limfa pada malaria kronis biasanya dijumpai bersama dengan peningkatan kadar IgM. Peningkatan antibodi terhadap malaria ini mungkin menimbulkan respons imunologis yang tidak lazim pada malaria kronis. Pada malaria juga terjadi pembesaran hepar, sel Kuffer seperti sel dalam sistem retikuloendotelial terlibat dalam respon fagositosis. Sebagai akibatnya hati menjadi berwarna kecoklatan agak kelabu atau kehitaman. Pada malaria kronis terjadi infiltasi difus oleh sel mononukleus pada periportal yang meningkat sejalan dengan berulangnya serangan malaria. Hepatomegali dengan infiltrasi sel mononukleus merupakan bagian dari sindrom pembesaran hati di daerah tropis. Nekrosis sentrilobulus terjadi pada syok.
Terjadinya infeksi oleh parasit Plasmodium ke dalam tubuh manusia dapat terjadi melalui dua cara yaitu :
1.      Secara alami melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang mengandung parasit malaria
2.      Induksi yaitu jika stadium aseksual dalam eritrosit masuk ke dalam darah manusia, misalnya melalui transfuse darah, suntikan, atau pada bayi yang baru lahir melalui plasenta ibu yang terinfeksi (congenital).

C.    Patogenesis Penyakit TBC
Patogenesis penyakit TBC ada 4 tahap yaitu terdiri dari :
1.      Tahap inkubasi
Tahap inkubasi merupakan tenggang diwaktu antara masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh yang peka terhadap penyebab penyakit, sampai timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi ini bervariasi antara satu penyakit dengan penyakit lainnya. Dan pengetahuan tentang lamanya masa inkubasi ini sangat penting, tidak sekadar sebagai pengetahuan riwayat penyakit, tetapi berguna untuk informasi diagnosis. Setiap penyakit mempunyai masa inkubasi tersendiri, dan pengetahuan masa inkubasi dapat dipakai untuk identifikasi jenis penyakitnya.Masa inkubasi dari penyakit TBC yaitu mulai terinfeksi samapi menjadi sakit diperkirakan 4-12 minggu
2.      Tahap penyakit dini
Tahap ini mulai dengan munculnya gejala penyakit yang kelihatannya ringan. Tahap ini sudah mulai menjadi masalah kesehatan karena sudah ada gangguan patologis, walaupun penyakit masih dalam masa subklinis. Pada tahap ini, diharapkan diagnosis dapat ditegakkan secara dini . Gejalanya seperti
a.       Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
b.      Penurunan nafsu makan dan berat badan.
c.       Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
d.      Perasaan tidak enak (malaise), lemah.

3.      Tahap penyakit lanjut
Pada tahap ini penyakit bertambah jelas dan mungkin bertambah berat dengan segala kelainan klinik  yang jelas, sehingga diagnosis sudah relatif mudah ditegakkan. Saatnya pula, setelah diagnosis ditegakkan, diperlukan pengobatan yang tepat untuk menghindari akibat lanjut yang kurang baik dengan Gejala
a.       Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak.
b.      Ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
c.       Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
4.      Tahap penyakit akhir
Berakhirnya perjalanan penyakit dapat berada dalam lima pilihan keadaan, yaitu:
a.       Sembuh sempurna, yakni bibit penyakit menghilang dan tubuh menjadi pulih, sehat kembali.
b.      Sembuh dengan cacat, yakni bibit penyakit menghilang, penyakit sudah tidak ada, tetapi tubuh tidak pulih sepenuhnya, meninggalkan bekas gangguan yang permanen berupa cacat.
c.       Karier, di mana tubuh penderita pulih kembali, namun penyakit masih tetap ada dalam tubuh tanpa memperlihatkan gangguan penyakit
d.      Penyakit tetap berlangsung secara kronik.
e.       Berakhir dengan kematian.

D.    Patogenesis Penyakit Filariasis
Penyakit kaki gajah disebabkan oleh cacing dari kelompok nematoda, yaitu Wucheraria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Ketiga jenis cacing tersebut menyebabkan penyakit kaki gajah dengan cara penularan dan gejala klinis, serta pengobatan yang sama. Cacing betina akan menghasilkan (melahirkan) larva, disebut mikrofilaria, yang akan bermigrasi kedalam sistem peredaran darah. Penyakit kaki gajah terutama disebabkan karena adanya cacing dewasa yang hidup di saluran getah bening. Cacing tersebut akan merusak saluran getah bening yang mengakibatkan cairan getah bening tidak dapat tersalurkan dengan baik sehingga menyebabkan pembengkakan pada tungkai dan lengan. Cacing dewasa mampu bertahan hidup selama 5-7 tahun di dalam kelenjar getah bening.
Filariasis atau elephantiasis atau penyakit kaki gajah adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Penyakit ini tersebar luas di pedesaan dan perkotaan. Dapat menyerang semua golongan tanpa mengenal usia dan jenis kelamin.
Patogenesis penyakit filariasis ada 3 fase yaitu :
1.      Fase Subklinis
Fase ini disebut juga dengan pre-symtomatic, dimana perubahan faali atau system dalam tubuh manusia (proses terjadinya sakit) telah terjadi, namun perubahan tersebut tidak cukup kuat untuk menimbulkan keluhan sakit dan pada umumnya pencarian pengobatan belum dilakukan. Akan tetapi jika dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan alat-alat kesehatan seperti pemeriksaan mikroskopis darah pada waktu malam hari, maka akan ditemukan mikrofilaria dalam tubuh mereka. Begitu pula jika meminum obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) yang sedang digalakkan oleh pemerintah dalam program eliminasi penyakit kaki gajah, akan timbul efek samping seperti sakit kepala, sakit tulang atau otot, pusing, anoreksia, muntah, demam, dan alergi yang menandakan terdapat microfilaria dalam tubuh mereka.
2.      Fase Klinis
Pada fase ini perubahan-perubahan yang terjadi pada jaringan tubuh telah cukup untuk memunculkan gejala-gejala (symptoms) dan tanda-tanda (signs) penyakit. Adapun gejala akut yang dapat terjadi antara lain :
a.       Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat.
b.      Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit
c.       Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis).
d.      Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.
e.       Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema).
3.      Fase Konvalesens
Merupakan tahap akhir dari fase klinis yang dapat berupa fase konvalesens (penyembuhan) dan meninggal. Fase konvalesens dapat berkembang menjadi sembuhtotal, sembuh dengan cacat atau gejala sisa (disabilitas atau sekuele). Filariasis dapat disembuhkan jika diobati sedini mungkin, namun jika tidak mendapatkan pengobatan dapat mengakibatkan Disabilitas (kecacatan atau ketidakmampuan) karena terjadi penurunan fungsi sebagian struktur atau organ tubuh, yaitu berupa pembesaran kaki, lengan, dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki sehingga menurunkan fungsi aktivitas seseorang secara keseluruhan.

No comments:

Post a Comment

speech delay

 hay guyys.... ini saya mau sedikit share tentang speech delay yang lagi marak terjadi pada anak sekarang ... sama seperti anak saya... spee...