Ani Romaningsih: sistem surveilens penyakit infeksi

Sunday, October 4, 2015

sistem surveilens penyakit infeksi



Soal : Buatlah sistem surveilens penyakit infeksi ?
JAWABAN
A.     Sistem Surveilens Penyakit DBD
Sistem surveilans penyakit DBD adalah pengamatan penyakit DBD di puskesmas meliputi kegiatan pencatatan, pengolahan dan penyajian data penderita DBD untuk pemantauan mingguan, laporan mingguan wabah, laporan bulanan program P2DBD, penentuan desa/kelurahan rawan, mengetahui distribusi kasus DBD/ kasus tersangka DBD per RW/dusun, menentukan musim penularan dan mengetahui kecenderungan penyakit.
Alur pelaporan kasus DBD dimulai dari masyarakat dan dari petugas kesehatan/ rumah sakit ataupun klinik lainnya. Laporan diberikan ke puskesmas yang diteruskan ke dinas kesehatan kabupaten/kota. Apabila pelaporan berasal dari rumah sakit bisa langsung disampikan ke dinas kesehatan kabupaten/kota. Selanjutnya, Dinas kesehatan kabupaten/kota akan melakukan tindak lanjut berupa tindakan-tindakan penyelidikan epidemiologi, pemberantasan sarang nyamuk ataupun dengan fogging. Dinas kesehatan kabupaten/kota akan melaporkan kejadian ini ke dinas kesehatan propinsi. Pelaporan kasus DBD berhenti sampai dengan tingkat propinsi. Di tingkat propinsi data akan diolah untuk keperluan upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit DBD.
Suatu sistem suvrveilans dinilai baik atau representative apabila sistem itu sederhana, fleksible dan dapat diterima (acceptability) oleh pemakai. Dengan mempunyai karakter yang demikian maka suatu sistem akan banyak bermanfaat bagi suatu institusi kesehatan ataupun orang-orang yang bergerak di bidang kesehatan untuk memfokuskan suatu kegiatan.

B.     Sistem Surveilans Penyakit Malaria
Surveilans malaria adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara program dan pihak/ instansi terkait secara sistematis dan terus menerus tentang situasi malaria dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan tersebut agar dapat dilakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien.
Manfaat Surveilans Epidemiologi Penyakit Malaria
1.      Melakukan pengamatan dini yaitu Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) malaria di Puskesmas dan unit pelayanan kesehatan lainnya dalam rangka mencegah Kejadian Luar Biasa (KLB) malaria.
2.      Dapat menjelaskan pola penyakit malaria yang sedang berlangsung yang dapat dikaitkan dengan tindakan-tindakan/intervensi kesehatan masyarakat.
3.      Dapat mempelajari riwayat alamiah dan epidemiologi penyakit malaria, khususnya untuk mendeteksi adanya KLB/wabah. 
4.      Memberikan informasi dan data dasar untuk memproyeksikan kebutuhan pelayanan kesehatan dimasa mendatang.
5.      Dapat membantu pelaksanaan dan daya guna program pengendalian khusus dengan membandingkan besarnya masalah kejadian penyakit malaria sebelum dan sesudah pelaksanaan program.
6.      Mengidentifikasi kelompok risiko tinggi menurut umur, pekerjaan, tempat tinggal dimana penyakit malaria sering terjadi dan variasi terjadinya dari waktu ke waktu (musiman, dari tahun ke tahun), dan cara serta dinamika penularan penyakit menular.
7.      Menghasilkan informasi yang cepat dan akurat yang dapat disebarluaskan dan digunakan sebagai dasar penanggulangan malaria yang cepat dan tepat, yaitu melakukan perencanaan yang sesuai dengan permasalahannya.
Kegiatan surveilans malaria terbagi menjadi 3 periode, yaitu:
1.      Surveilans periode kewaspadaan sebelum Kejadian Luar Biasa (KLB) atau  surveilans Periode Peringatan Dini (PPD): Suatu kegiatan untuk memantau secara terartur perkembangan penyakit malaria di suatu wilayah dan mengambil tindakan pendahuluan untuk mencegah timbulnya KLB.
2.      Surveilans Periode KLB: Kegiatan yang dilakukan dalam periode dimana kasus malaria menunjukan proporsi kenaikan dua kali atau lebih dari biasanya/sebelumnya dan terjadi peningkatan yang bermakna baik penderita  malaria klinis maupun penderita malaria positif atau dijumpai keadaan penderita plasmodium falciparum dominan atau ada kasus bayi positif baik disertai ada kematian karena atau diduga malaria dan adanya keresahan masyarakat karena malaria. 
3.      Surveilans Paska KLB: Kegiatannya sama seperti pada periode peringatan dini. Monitoring dilakukan dengan cara pengamatan rutin atau melakukan survei secara periodik pada lokasi KLB (MFSatau MS) juga melakukan survei vektor dan lingkungan.
Dalam sistem surveilans malaria mencakup hal-hal pokok sebagai berikut (Depkes RI, 2007) :
1.      Pengumpulan data melalui kegiatan penemuan kasus.
Penemuan penderita malaria dilakukan dengan :
a)      Cara pasif (Passive Case Detection) yaitu penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke UPK.
b)      Survei malariometrik,  yang terdiri dari :
1)      Survei malariometrik dasar, yaitu mengukur tingkat endemisitas dan prevalensi di wilayah epidemiologis yang belum tercakup oleh kegiatan pemberantasan vektor. Waktu pengambilan darah pada saat puncak tertinggi fluktuasi malaria klinis atau data entomologi setempat dan dilaksanakan 1 kali saja.
2)      Survei malariometrik evaluasi, yaitu mengukur dampak kegiatan pemberantasan vektor khususnya penyemprotan rumah di daerah prioritas. Waktu pengambilan darah pada saat puncak tertinggi fluktuasi malaria klinis atau data entomologi setempat.
2.      Pengolahan dan Analisa Data
Data yang telah diterima kemudian diolah dan dianalisa selanjutnya disajikan dalam bentuk teks, tabel, grafik dan atau spot map. Pengolahan dan analisa dilakukan di tingkat Puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten, Dinas Kesehatan Propinsi dan Departemen Kesehatan Pusat.
3.      Umpan Balik dan Penyebarluasan Informasi
a)      Puskesmas mengirim umpan balik ke Puskesmas Pembantu yang ada di wilayahnya.
b)      Dinas Kesehatan Kabupaten mengirim umpan balik kepada seluruh Puskesmas.
c)      Dinas Kesehatan Propinsi mengirim umpan balik ke Dinas Kesehatan Kabupaten.
d)     Departemen Kesehatan RI mengirim umpan balik ke semua Propinsi Sedangkan penyebarluasan informasi melalui laporan triwulan, tahunan, profil kesehatan, dan Laporan akuntabilitas instansi pemerintah (LAKIP) yang diinformasikan kepada lintas sektor dan program terkait, para penentu keputusan dan kebijakan serta masyarakat yang membutuhkan.

C.    Sistem Surveilens Penyakit TBC
1.      Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman Myocobacterium tuberculosis.  Bakteri ini berbentuk  batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuhmanusia melaui udara pernapasan kedalam paru. Kemudian kuman tersebut menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalu sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, melalui saluran napas (bronchus) atau menyebar langsung ke bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di luar paru.
2.      Tujuan Surveilans Epidemiologi TBC
a.       Tujuan umum
Surveilans  bertujuan  memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi, sehingga penyakit dan  faktor risiko  dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif.
b.      Tujuan khusus surveilans
1)      Memonitor kecenderungan (trends) penyakit
2)      Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini outbreak
3)      Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden) pada populasi
4)      Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan
5)      Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan
6)      Mengidentifikasi kebutuhan risetManfaat Surveilans Epidemiologi TBC:
3.      Manfaat surveilans epidemiologi penyakit tbc yaitu:
a.       Dapat diketahui distribusi penyakit tuberculosis menurut orang, tempat, waktu, dan kelompok umur pada suatu daerah tertentu dimana dilakukannya surveilans.
b.      Bagi pensurvei (puskesmas), sebagai bahan informasi penting mengenai suatu penyakit tuberkulosis dan dapat digunakan untuk penentu kebijakan selanjutnya dalam langkah penanggulangan penyakit tuberculosis tersebut.
c.       Bagi masyarakat, surveilans epidemiologi tbc dapat dijadikan sebagai informasi dan sebagai bahan masukan agar masyarakatlebih meningkatkan lagi kesehatanya.
4.      Indikator dalam Survailens Epidemiologi TBC
Indikator dalam survei TBC (survey tuberkulin, studi tentang kematian, pengkajian pelaksanaan DOTS di RS), antara lain:
a.       Komitmen pemerintah untuk mempertahankan control terhadap TB;
b.      Deteksi kasus TB di antara orang-orang yang memiliki gejala-gejala melalui pemeriksaan dahak;
c.       Enam hingga delapan bulan pengobatan teratur yang diawasi (termasuk pengamatan langsung untuk pengkonsumsian obat setidaknya selama dua bulan pertama);
d.      Persediaan obat TB yang rutin dan tidak terputus;
e.       Sistem laporan untuk monitoring dan evaluasi perkembangan pengobatan dan program.
f.       Memasukkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course) sebagai penilaian akreditasi rumah sakit;
g.      Menggunakan 18 alat Gene Xpert sebagai Rapid Diagnostic TB untuk TB MDR dan TB HIV;
h.      Memperluas pelayanan TB MDR keseluruh Indonesia;
i.        Melibatkan lintas sector Pemerintah dan asosiasi profesi untuk menjangkau seluruh kelompok masyarakat;
j.        Mengembangkan Sistem Informasi Terpadu Tuberkulosis;
k.      Memberdayakan masyarakat dengan pembentukan Jaringan Peduli TB Indonesia dan paguyuban masyarakat peduli TB;
l.        Menyusun exit strategy agar tidak tergantung pada bantuan luar negeri; Menyepakati dengan PT ASKES dan Jamsostek dalam penerapan standar pengobatan TB dan pembiayaan berbasis asuransi bagi seluruh pasien TB.  
5.      Metode-Metode Survailens Epidemiologi TBC
Metodologi yang digunakan dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif, termasuk  modeling, eksperimentasi, kuasi eksperimen, focus group discussion, in-depth interview dan lain-lain. Tidak ada metode khusus yang digunakan.Dalam melakukan survei tuberkulosis, keterlibatan manajer dan pelaksana program sangat diperlukan. Keberhasilan dalam surveidinilai dari seberapa besar pemanfaatan hasil penelitian untuk perbaikan pelaksanaan program. Pengalaman menunjukkan bahwa hasil survei  akan dimanfaatkan, bila pelaksana program diikutsertakan sejak dari awal.  Langkah-langkah surveilans TBC, meliputi:
a.       Penentuan dan penetapan masalah (problem identification),
b.      Upaya pemecahan masalah (hypothesis)
c.       Ujicoba pemecahan masalah (research implementation)
d.      Telah keberhasilan upaya pemecahan masalah (analysis and discussion)
e.       Penyebarluasan hasil (publication).
6.      Kelebihan dan Kekurangan Secara Umum
a.       Kelebihan Surveilens Epidemiologi Penyakit TBC
1)      Informasi epidemiologi penyakit TBC terdistribusi kepada program terkait, pusat-pusat kajian, dan pusat penelitian serta unit surveilans lain.
2)      Terkumpulnya data kesakitan, data laboratorium dan data KLB penyakit TBC di Puskesmas, Rumah Sakit danLaboratorium, sebagai sumber data Surveilans Terpadu Penyakit
3)      Dapat mendistribusikan data kesakitan, data laboratorium serta data KLB penyakit TBC kepada unit surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, unit surveilans Dinas Kesehatan Propinsi dan unit surveilans Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan
4)      Terlaksananya pengolahan dan penyajian data penyakit dalam bentuk tabel, grafik, peta dan analisis epidemiologi penyakit TBC lebih lanjut oleh Unit surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi dan Ditjen PPM &PL Depkes
5)      Dapat mendistribusikan hasil pengolahan dan penyajian data penyakit beserta hasil analisis epidemiologi lebih lanjut dan rekomendasi kepada program terkait di Puskesmas, Rumah Sakit, Laboratorium, Kabupaten/Kota, Propinsi, Nasional, pusat-pusat riset, pusat-pusat kajian dan perguruan tinggi serta sektor terkait lainnya
6)      Memantau kemampuan program TB untuk mendeteksi kasus, menjamin selesainya pengobatan dan kesembuhan.
b.      Kekurangan dalam hal surveilens epidemiologi penyakit TB antara lain:
1)      Permaslahan dalam pencatatan data TB di rumah sakit seperti:
a)      Pertama, ketidakakuratan data, terjadi karena pengisian formulir masih dilakukan secara manual sehingga untuk mengisi seluruh formulir baik standar maupun buku bantu terdapat data yang sama ditulis berulang kali, sehingga mudah menimbulkan kesalahan
b)      Masalah ketidaklengkapan data, sebagai contoh data yang diisi dalam formulir pelaporan TB 01 tidak lengkap sebelum pelaksanaan validasi sampling diambil 10 laporan TB 01 secara acak semuanya tidak lengkap pengisiannya, dikarenakan petugas harus mengumpulkan data dari berbagai sumber untuk melengkapi laporan TB 01
c)      Validasi data memerlukan waktu lama, karena data dari Puskesmas, BP4, Rumah Sakit dan Puskesmas harus disalin ulang oleh wasor TB kabupaten/kota untuk kepentingan pengisian data register kabupaten. Supervisi ke UPK dilaksanakan setiap 3 bulan sekali dan setiap kali supervisi untuk validasi data pada satu UPK dibutuhkan waktu lebih dari 2 jam sampai sehari penuh
d)     Tidak dapat memberikan informasi bulanan tepat waktu, karena supervisi dilaksanakan setiap 3 bulan sekali sementara propinsi menghendaki laporan bulanan. Dengan demikian laporan bulanan hanya berupa laporan estimasi.
e)      Banyak pasien yang tidak tercatat dalam program DOTS disebabkan karena pindah pengobatan dan tidak terpantau bahkan tidak dilaporkan
f)       Kesulitan untuk monitoring pasien selama pengobatan
g)      Kesulitan jika ingin membuat laporan yang bervariasi dengan tampilan tabel, grafik maupun peta karena harus menghitung secara manual. Terakhir kesulitan untuk mengambil keputusan klinis berkaitan penegakan diagnosis TB karena kebutuhan data klinis belum ada dalam formulir TB standar, sehingga perlu dikembangkan format laporan misalnya clinical pathway yang di kembangkan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
2)      Permasalahan yang berkaitan dengan structural dan pendanaan , seperti:
a)      Selama ini pelaksanaan surveilans masih bersifat vertikal, dan terpisah antar satu program dengan program lainnya. Pemerintah pusat telah mengeluarkan Kepmenkes No.1116/SK/VIII/2003 yang mengatur penyelenggaraan sistem surveilans. Kepmenkes ini menyebutkan agar dibentuk unit surveilans dan unit pelaksana teknis surveilans serta dibentuk jejaring surveilans antara unitunit tersebut. Pengamatan menunjukkan bahwa pelaksanaan Kepmenkes belum berjalan secara maksimal di daerah. Belum ada Perda atau Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota yang merujuk ke Kepmenkes. Surveilans saat ini banyak didanai pemerintah pusat. Dana masuk dalam anggaran pusat yang bersifat program vertikal. Tidak ada dana untuk pengembangan surveilans di daerah. Akibatnya jarang sekali dilakukan pencegahan sekunderprimer oleh pemerintah daerah. Respons oleh pemerintah pusat dari kegiatan surveilans lebih banyak ke pencegahan tersier yang mempunyai risiko keterlambatan
b)      Perlu penguatan sistem surveilans di daerah dengan cara penguatan kedudukan unit surveilans dalam tatanan struktural dinkes dan optimalisasi anggaran, terutama dari APBD. Ada kemungkinan pemerintah daerah merasa bahwa urusan surveilans adalah urusan pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah tidak memprioritaskan program surveilans dan menganggap surveilans tidak terlalu penting. Persepsi pemerintah daerah seperti ini yang menjadikan alokasi anggaran untuk pelaksanaan kegiatan surveilans sangat rendah.
3)      Permaslahan yang menjadi kekurangan dalam surveilens dilihat dari prosesnya meliputi:
a)      Input, meliputi kurangnya sumber daya manusia, kurangnya peranan kelompok jabfung, minimnya dukungan anggaran, dan tidak adanya dukungan dari Perda
b)      Segi proses, dinyatakan bahwa jejaring surveilans selama ini tidak ada, belum ada konfirmasi kasus, belum terjadi koordinasi lintas program apalagi lintas sektoral, respon selama ini hanya bersifat by case
c)      Output, kelengkapan dan ketepatan data masih rendah, diseminasi buletin epidemiologi dan umpan balik pun belum ada di semua daerah, hanya saja di beberapa daerah umpan balik dilakukan dengan pertemuan bulanan dokter, atau ada pula yang memberi umpan balik dengan menyebarkan edaran ke Puskesmas-Puskesmas.
D.    Sistem Surveilens Penyakit Filariasis
Penyakit Filariasis adalah salah satu penyakit penyakit menular yang tidak berpotensi menimbulkan wabah dan KLB tetapi diprogramkan, ditingkat kecamatan dilaporkan secara bulanan melalui RR terpadu Puskesmas ke Kabupaten, dan seterusnya secara berjenjang sampai ke tingkat pusat.
Surveilans Epidemiologi adalah kegiatan pengamatan secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan serta kondisi yang mempengaruhi resiko terjadinya penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan, pengolahan data dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.
Langkah-langkah kegiatan surveilans
1.      Perencanaan surveilans
Perencanaan kegiatan surveilans dimulai dengan penetapan tujuan surveilans, dilanjutkan dengan penentuan definisi kasus filariasis, perencanaan perolehan data, teknik pengumpulan data, teknik analisis dan mekanisme penyebarluasan informasi.
2.      Pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan awal dari rangkaian kegiatan untuk memproses data selanjutnya. Data yang dikumpulkan memuat informasi epidemiologi yang dilaksanakan secara teratur dan terus-menerus dan dikumpulkan tepat waktu. Pengumpulan data dapat bersifat pasif yang bersumber dari Rumah sakit, Puskesmas dan lain-lain, maupun aktif yang diperoleh dari kegiatan survei (Budioro, 1997).
Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan pencatatan insidensi terhadap orang-orang yang dianggap penderita malaria atau population at risk melalui kunjungan rumah (active surveillance) atau pencatatan insidensi berdasarkan laporan sarana pelayanan kesehatan yaitu dari laporan rutin poli umum setiap hari, laporan bulanan Puskesmas desa dan Puskesmas pembantu, laporan petugas surveilans di lapangan, laporan harian dari laboratorium dan laporan dari masyarakat serta petugas kesehatan lain (pasive surveillance). Atau dengan kata lain, data dikumpulkan dari unit kesehatan sendiri dan dari unit kesehatan yang paling rendah, misalnya laporan dari Pustu, Posyandu, Barkesra, Poskesdes (Arias, 2010).
Proses pengumpulan data diperlukan sistem pencatatan dan pelaporan yang baik. Secara umum pencatatan di Puskesmas adalah hasil kegiatan kunjungan pasien dan kegiatan luar gedung. Sedangkan pelaporan dibuat dengan merekapitulasi data hasil pencatatan dengan menggunakan formulir tertentu, misalnya form W1 Kejadian Luar Biasa (KLB) , form W2 (laporan mingguan) dan lain-lain (Noor, 2000).
3.      Pengolahan dan penyajian data
Data yang sudah terkumpul dari kegiatan diolah dan disajikan dalam bentuk tabel, grafik (histogram, poligon frekuensi), chart (bar chart, peta/map area). Penggunaan komputer sangat diperlukan untuk mempermudah dalam pengolahan data diantaranya dengan menggunakan program (software) seperti epi info, SPSS, lotus, excel dan lain-lain (Budioro, 1997).
4.      Analisis data
Analisis merupakan langkah penting dalam surveilans epidemiologi karena akan dipergunakan untuk perencanaan, monitoring dan evaluasi serta tindakan pencegahan dan penanggulangan penyakit. Kegiatan ini menghasilkan ukuran-ukuran epidemiologi seperti rate, proporsi, rasio dan lain-lain untuk mengetahui situasi, estimasi dan prediksi penyakit (Noor, 2000).
Data yang sudah diolah selanjutnya dianalisis dengan membandingkan data bulanan atau tahun-tahun sebelumnya, sehingga diketahui ada peningkatan atau penurunan, dan mencari hubungan penyebab penyakit malaria dengan faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian malaria (Arias, 2010).
5.      Penyebarluasan informasi
Penyebarluasan informasi dapat dilakukan ketingkat atas maupun ke bawah. Dalam rangka kerja sama lintas sektoral instansi-instansi lain yang terkait dan masyarakat juga menjadi sasaran kegiatan ini. Untuk diperlukan informasi yang informatif agar mudah dipahami terutama bagi instansi diluar bidang kesehatan (Budioro, 1997).
Penyebarluasan informasi yang baik harus dapat memberikan informasi yang mudah dimengerti dan dimanfaatkan dalam menentukan arah kebijakan kegiatan, upaya pengendalian serta evaluasi program yang dilakukan. Cara penyebarluasan informasi yang dilakukan yaitu membuat suatu laporan hasil kajian yang disampaikan kepada atasan, membuat laporan kajian untuk seminar dan pertemuan, membuat suatu tulisan di majalah rutin, memanfaatkan media internet yang setiap saat dapat di akses dengan mudah (Depkes RI, 2003).
6.      Umpan balik
Kegiatan umpan balik dilakukan secara rutin biasanya setiap bulan saat menerima laporan setelah diolah dan dianalisa melakukan umpan balik kepada unit kesehatan yang melakukan laporan dengan tujuan agar yang mengirim laporan mengetahui bahwa laporannya telah diterima dan sekaligus mengoreksi dan memberi petunjuk tentang laporan yang diterima. Kemudian mengadakan umpan balik laporan berikutnya akan tepat waktu dan benar pengisiannya. Cara pemberian umpan balik dapat melalui surat umpan balik, penjelasan pada saat pertemuan serta pada saat melakukan pembinaan/suvervisi (Arias, 2010).
Bentuk dari umpan balik bisa berupa ringkasan dari informasi yang dimuat dalam buletin (news letter) atau surat yang berisi pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan yang dilaporkan atau berupa kunjungan ke tempat asal laporan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Laporan perlu diperhatikan waktunya agar terbitnya selalu tepat pada waktunya, selain itu bila mencantumkan laporan yang diterima dari eselon bawahan, sebaliknya yang dicantumkan adalah tanggal penerimaan laporan (Depkes RI, 2003).
7.      Investigasi penyakit
Setelah pengambilan keputusan perlunya mengambil tindakan maka terlebih dahulu dilakukan investigasi/penyelidikan epidemiologi penyakit malaria. Dengan investigator membawa ceklis/format pengisian tentang masalah kesehatan yang terjadi dalam hal ini adalah penyakit malaria dan bahan untuk pengambilan sampel di laboratorium. Setelah melakukan investigasi penyelidikan kemudian disimpulkan bahwa benar-benar telah terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) Filariasis yang perlu mengambil tindakan atau sebaliknya (Arias, 2010).
8.      Tindakan penanggulangan
Tindakan penanggulangan yang dilakukan melalui pengobatan segera pada penderita yang sakit, melakukan rujukan penderita yang tergolong berat, melakukan penyuluhan mengenai penyakit Filariasis kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran agar tidak tertular penyakit atau menghindari penyakit tersebut, melakukan gerakan kebersihan lingkungan untuk memutuskan rantai penularan (Arias, 2010).
Pelaksanaan Surveilans Filariasis di Tingkat Puskesmas
Kegiatan surveilans di tingkat Puskesmas dilaksanakan oleh petugas surveilans puskesmas dengan serangkaian kegiatan berupa pengumpulan data, pengolahan, analisis dan interpretasi data penyakit, yang dikumpulkan dari setiap desa siaga. Petugas surveilans puskesmas diharuskan:
1.      Membangun sistem kewaspadaan dini penyakit, diantaranya melakukan Pemantauan Wilayah Setempat dengan menggunakan data W2 (laporan mingguan). Melalui PWS ini diharapkan akan terlihat bagaimana perkembangan kasus penyakit setiap saat.
2.      Membuat peta daerah rawan penyakit. Melalui peta ini akan terlihat daerah-daerah yang mempunyai risiko terhadap muncul dan berkembangnya suatu penyakit. Sehingga secara tajam intervensi program diarahkan ke lokasi-lokasi berisiko.
3.      Membangun kerjasama dengan program dan sektor terkait untuk memecahkan kan permasalah penyakit di wilayahnya.
4.      Bersama Tim Gerak Cepat (TGC) KLB Puskesmas, melakukan respon cepat jika terdapat laporan adanya KLB/ancaman KLB penyakit di wilayahnya.
5.      Melakukan pembinaan/asistensi teknis kegiatan surveilans secara berkala kepada petugas di Poskesdes.
6.      Melaporkan kegiatan surveilans ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota secara berkala (mingguan/bulanan/tahunan).

No comments:

Post a Comment

speech delay

 hay guyys.... ini saya mau sedikit share tentang speech delay yang lagi marak terjadi pada anak sekarang ... sama seperti anak saya... spee...