Ani Romaningsih: Komprehensivitas Dan Kecanggihan Analisis

Wednesday, November 16, 2016

Komprehensivitas Dan Kecanggihan Analisis



Makalah
Metode Analisis Kebijakan Kesehatan
Komprehensivitas Dan Kecanggihan Analisis
Description: stikes.jpg















Dosen Pengampu : Uus Moch Usmad S.KM.,M.Kes
DI SUSUN KELOMPOK 1 :
1.      Ani Romaningsih
2.      Badriyah Mustikowati
3.      Angga Saputra Herlambang
4.      Abdul Ghoni
5.      Ahmad Joni Amran
6.      Alex Yandra
7.      Dedi Ariadi

PRODI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MERANGIN
TAHUN AJARAN 2016/2017


DAFTAR PUSTAKA

Bardach, Eugene, (2005), Practical Guide for Policy Analysis: Eightfold Paths
toward Problem Solving, NY

Hogwood dan Gunn,(1989), Policy Analysis for the Real World, Oxford
University Press

Howlett, Michael dan Ramesh, M. (1995), Studying Public Policy: Policy Cycles
and Policy Subsystem, Oxford University Press

Nugroho, Riant, (2007), Analisis Kebijakan, Elex Media Komputindo: Jakarta

Stone, Deborah(1997), Policy Paradox: the Art of Political Decision
Making,W&W Norton & Company, New York; pertama kali
dipublikasikan 1988 dengan judul Policy Paradox and Political Reason

Purwo Santoso & Joas (2010), Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta :UGM

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang Komprehensivitas Dan Kecanggihan Analisis.
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Metode Analisis Kebijakan Kesehatan dengan dosen pengampu Uus Moch Usmad SKM.,M.Kes. Sebagaimana kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari isi maupun pembahasan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna menyempurnakan tugas makalah ini.
            Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.
                                                                                       

Bangko, 13 Februari  2016

           

Penulis






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................   i
DAFTAR ISI  ............................................................................................   ii
BAB     I    PENDAHULUAN..................................................................   1
A.    Latar Belakang .........................................................................   1
B.     Rumusan Masalah.....................................................................   2
C.     Tujuan Penulisan.......................................................................   2
BAB    II    PEMBAHASAN.....................................................................   3
A.   Analisis Kebijakan dan Kompleksitas Fenomena Kebijakan....   3
B.    Pilihan Seorang Analis .............................................................   11
C.    Mengkritisi Logika Rational-Comprehensive...........................   12
BAB   III   KESIMPULAN  .....................................................................   15
DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dalam kebijakan kekuasaan negara bertemu dengan kedaulatan yang dalam norma demokrasi dipegang oleh rakyat atau warga negara. Karena dalam rezim negara bangsa yang saat ini dominan, hanya negara yang memiliki legitimasi untuk membuat sebuah kebijakan publik. Negara adalah pemegang kekuasaan yang sah. Karena kebijakan publik pada dasarnya adalah kebijakan negara, maka kebijakan publik seringkali diartikan sebagai sebuah tindakan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan untuk memastikan tujuan-tujuan yang sudah dirumuskan dan disepakati oleh publik bisa tercapai. Oleh karena itu, persoalan kebijakan publik bisa diartikan sebagai persoalan penggunaan kekuasaan.
Hal di atas penting untuk dipahami dan diresapi oleh analis kebijakan. Karena dari pemahaman tersebut, seorang analis, bisa memahami bahwa peran seorang analis rentan terjebak menjadi ‘sekedar’ kaki tangan penguasa. Dengan memahami kerentanan tersebut, diharapkan lebih mampu mengantisipasinya. Kebijakan tidak hanya dipahami sebagai persoalan teknis-administratif semata, tetapi juga sebagai sebuah persoalan politik. Karena terkait dengan penggunaan kekuasaan, niscaya, kebijakan publik berlangsung dalam suatu setting kekuasaan tertentu. Artinya ada pihak yang berkuasa dan ada pihak yang dikuasai. Biasanya, analisis kebijakan bisa dilakukan oleh mereka yang berkuasa, namun tidak tertutup kemungkinan analisis ini dilakukan oleh pihak yang dikuasai.
Kualitas analisis biasanya dilihat dari kekuatan dan ketajaman kritik yang dibangun. Oleh karena itu, dipenghujung sesi pertama ini ditekankan pentingnya berpikir kritis-analitis. Salah satu cara untuk itu adalah membiasakan berpikir dan bekerja dengan acuan yang jelas. Kalau dari acuan yang kita pilih ternyata ada kontradiksi dengan corak analisis yang sedang menjadi trend maka sikap kritis mulai bisa dibangun.
Perspektif ini tidak berambisi mengejar kebenaran yang bersifat universal. Analisa dari perspektif ini selalu meletakkan kontekstualitas dan inter-subyektivitas sebagai ukuran utama kebenarannya. Keberpihakan analis bukan menjadi satu hal yang tabu, tetapi menjadi suatu keniscayaan, tidak hanya untuk menghayati kontekstualitas dan inter-subyektivitas, tetapi juga menjadi suatu keniscayaan proses kebijakan itu sendiri, di mana si analis adalah salah satu pihak dari sekian banyak kepentingan yang terlibat didalamnya.

A.    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana kompleksitas fenomena kebijakan ?
2.      Bagaimana seorang analis memilih ?
3.      Bagaimana mengkritisi logika rational-comprehensive ?

B.     Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dalam penyusunan makalah ini yaitu :
1.      Untuk Memenuhi tugas mata kuliah metod analisis kebijakan kesehatan.
2.      Untuk mengetahui tentang komprehensivitas dan kecanggihan analisis yang terdiri dari analisis kebijakan dan kompleksitas fenomena kebijakan, pilihan seorang analis serta mengkritisi logika rational-comprehensive.








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Analisis Kebijakan dan Kompleksitas Fenomena Kebijakan
Seorang analis kebijakan melakukan analisis dengan tingkat kecanggihan dan komprehensivitas tertentu, itu yang membedakan seorang analis dengan orang awam. Kebijakan sebagai fenomena multidimensional, dengan memperlihatkan bahwa fenomena kebijakan bisa dipotret sebagai realita yang berbeda-beda, ada banyak cara untuk melihat dan memperlakukan kebijakan sebagai sebuah obyek analisis. Perbedaan perspektif melihat kebijakan dan kerangka analisis kebijakan akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda, meskipun obyek kebijakan yang dikaji sama.
Sebagai contoh, proses kebijakan konversi bahan bakar minyak tanah ke bahan bakar gas. Dari satu perspektif, proses kebijakan tersebut bisa dilihat sebagai sebuah sebuah proses yang digerakkan pada suatu tujuan yang jelas, efisiensi fiskal melalui pengurangan beban subsidi negara di sektor energi, dengan langkah-langkah yang didasari oleh perhitungan yang komprehensif, misalnya:“Berapa jumlah rumah tangga yang harus disuplai subsidi bahan bakar gas?”,“Siapa yang menyalurkan?”, “Bagaimana penyalurannya?”, “Dari mana anggarannya akan diambil?”, dan seterusnya. Namun, dari perspektif yang lain, kebijakan ini juga bisa dilihat sebagai sebuah proses yang bergerak ke arah dan tujuan yang belum pasti dan proses kebijakan itu sendiri diisi oleh pertarungan berbagai kepentingan yang nantinya akan menentukan arah dan hasil kebijakan. Misalnya, “Siapa yang diajak untuk membuat keputusan kebijakan konversi ke bahan bakar gas tersebut?”, “Pihak mana yang diuntungkan dan dirugikan?”, “Dampak sosial yang mungkin ditimbulkan dari proses konversi tersebut?”, dan seterusnya.
Contoh serupa bisa kita dapatkan juga dalam kasus penggusuran. Dari kacamata pemerintah, sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan, langkah ini dianggap perlu demi kebaikan masyarakat sendiri. Dalam kasus eksekusi tanah milik Perum Perumnas, argumen dan logika yang digunakan untuk menjustifikasi penggusuran adalah demi terciptanya keadilan dan terpenuhinya prinsip supremasi hukum, yang dalam kasus tersebut menyatakan tanah tersebut adalah milik Perum Perumnas, dan karenanya mereka berhak menggusur orang yang dianggap tidak berhak mendiami tanah tersebut. Namun, dalam perspektif yang lain, seperti dikemukakan dalam artikel tersebut, ada dampak dari kebijakan penggusuran tersebut yang sangat berpotensi memunculkan permasalahan publik baru. Warga yang tergusur tentunya mengalami gangguan dalam kehidupan sosial dan ekonominya. Bagi analis kebijakan, tentunya hal ini tidak bisa dikesampingkan begitu saja, mengingat tujuan dari kebijakan publik adalah menyelesaikan permasalahan publik, bukan menciptakan masalah publik baru.
Misalnya kasus kebijakan penggusuran, dalam sarapan pagi bersama Tubagus Karbyanto.  Yang isinya bahawa penggusuran adalah teror bagi masyarakat korban karena sendi kehidupan mereka tercabut dari akarnya ungkap pemerhati masalah perkotaan Tubagus Karbyanto. “Penggusuran adalah teror yang mencekam,” kata Tubagus saat dihubungi KCM, Kamis (2/10). Setidaknya lebih dari dua minggu ke belakang, warga Jakarta akrab dengan berita penggusuran. Setelah ratusan warga Kampung Baru, Cengkareng kehilangan tempat tinggal mereka karena lahan yang dipakai diambil pemiliknya Perum Perumnas, giliran warga Kampung Sawah, Tanjung Duren bernasib naas. Kamis pagi, 100 warga yang mendiami lahan di RW 05 dan RW 06, persis di samping Mal Taman Anggrek kalah adu fisik dengan sekitar 3500 petugas tramtib berikut polisi. Tempat tinggal mereka pun, rata dengan tanah. Menurut Tubagus yang juga Wakil Ketua Forum Warga Kota (Fakta) ini, penggusuran seperti dijelaskan di atas akses masyarakat korban untuk mendapatkan hak-hak hidup mereka betul-betul tertutup. “Mereka tidak bisa lagi memikirkan pekerjaan mereka. Anak-anak pun tak lagi bisa sekolah. Mereka pun cemas akan ancaman penggusuran-penggusuran selanjutnya,” kata Tubagus.
Sumber:http://www.kompas.com/utama/news/0310/03/072649.htm,Benarkah penggusuran adalah sesuatu yang merugikan? Bukankah tujuan dari penggusuran kepentingan orang banyak?
Dapat dilihat bahwa masing-masing perspektif mengedepankan aspek tertentu dengan mengesampingkan aspek yang lain. Di atas, perspektif yang pertama mengedepankan aspek teknis-administratif-ekonomis, dengan mengabaikan aspek sosio politis. Sebaliknya perspektif yang kedua lebih mengedepankan aspek sosio-politis, dan mendorong upaya mencari solusi alternatif untuk permasalahan kepemilikan dan pemanfaatan lahan yang menjadi pokok permasalahan kebijakan di atas. Pilihan perspektif seorang analis akan berkonsekuensi pada model atau kerangka analisis yang digunakannya. Padahal, dua contoh tersebut hanyalah sebagian kecil dari berbagai perspektif tentang kebijakan. Artinya, ada demikian banyak cara untuk memahami kebijakan publik dan menganalisa kebijakan publik. Ini bisa kita lihat pada “Peta Pemikiran Analisis Kebijakan” yang menunjukkan, setidaknya, empat perspektif kebijakan, yaitu kebijakan sebagai fenomena politis, deliberatif, teknis, dan strategis.
Stakeholders Driven
 
Politician Driven
 
Konflik
 
Bagan 1. Peta Pemikiran Analisis Kebijakan



 


Lingkup Terbatas
 
Analisis Kebijakan
 
             












Lingkup Luas
 





Technocrates driven
 

Stabil
 

Policy Analysts Driven
 
 






Sumber: Nugroho, Riant, (2007), Analisis Kebijakan, Jakarta: Elex Media Komputiondo, hal. 158
Kondisi seperti di atas, di satu sisi, memberikan ruang yang leluasa bagi orang untuk mengembangkan berbagai model dan metode analisis kebijakan. Namun, di sisi yang lain, menempatkan analis kebijakan pada situasi yang dilematis untuk menentukan perspektif mana yang harus dipakai untuk menghasilkan analisis yang komprehensif. Keinginan untuk menghasilkan sebuah analisis yang komprehensif, tidak jarang membawa seorang analis untuk berupaya memperhitungkan semua faktor yang mempengaruhi proses sebuah kebijakan. Harapannya, dengan memperhitungkan semua faktor, si analis bisa menghasilkan informasi dan ramalan kebijakan yang akurat.
Sayangnya, keinginan seperti di atas jarang sekali menjadi kenyataan dalam praktek analisis kebijakan. Salah-salah, analis yang bersangkutan, jika tidak hati-hati, bisa terjebak dalam penggunaan nalar Rational-Comprehensive secara berlebihan, ketika dia terlalu percaya diri pada rasionalitas dan kapasitasnya sebagai seorang teknokrat atau analis kebijakan. Sebaliknya, analisis yang sifatnya hanya parsial, atau menyeluruh namun hanya berpilar pada prinsip-prinsip normatif umum,kurang memiliki daya ramal dan sedikit sekali utilitasnya bagi kebutuhan praktis kebijakan.
Dalam menentukan pilihan perspektif dan konsekuensi tuntutan derajat komprehensivitas yang ditimbulkan, sebagai seorang analis, harus mengenal, memahami, dan menghayati perspektif-perspektif dasar yang selama ini digunakan untuk memahami, menjelaskan, dan memperlakukan kebijakan. Untuk itu, diperkenalkan dua mazhab pemikiran dalam studi kebijakan publik dan analisis kebijakan publik. Kedua mazhab itu adalah Rational-Comprehensive dan Garbage dan Can Model. Kedua model dasar ini banyak dipakai untuk menjelaskan logika dalam proses kebijakan publik.

Perbedaan model-model pengambilan keputusan yaitu sebagai berikut :
1.      Rational-Comprehensive
a.       Asumsi ontologis : Setiap permasalahan memiliki solusi obyektif.
b.      Asumsi epistemologis : Pendekatan yang rasional membawa pada pilihan solusi obyektif.
c.       Sikap terhadap konteks : Hampir sepenuhnya abai terhadap konteks, misal selalu mengasumsikan bahwa informasi yang dibutuhkan akan selalu tersedia secara tidak terbatas.
d.      Logika Proses : Teknokratis.
e.       Cakupan analisis : Substansi.
f.       Keputusan yang diharapkan akan dihasilkan : Efektif dan efisien, dengan asumsi klaim ilmiah dan obyektif tidak perlu ditundukkan pada dinamika politik yang ada dalam situasi keputusan kebijakan
g.      Posisi analis : Sebagai orang luar yang imparsial.
h.      Teknik dan metode analisis yang biasa digunakan : CBA, SWOT, Linear programming.
2.      Mixed-Scanning
a.       Asumsi ontologis : Setiap permasalahan berada dalam sebuah konteks yang spesifik.
b.      Asumsi epistemologis : Selain keterbatasan nalar manusia, konteks ini membatasi kemungkinan untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan melakukan pertimbangan yang komprehensif,sehingga keputusan tidak pernah didasarkan pada perhitungan rasional yang komprehensif.
c.       Sikap terhadap konteks : Memberikan perhatian kepada konteks sembari mengupayakan agar proses pengambilan keputusan dalam rasionalitas teknokratis bisa dimaksimalkan.
d.      Logika Proses : Politis.
e.       Cakupan analisis : Substansi dan proses.
f.       Keputusan yang diharapkan akan dihasilkan : Efektif dan efisien, namun juga harus bisa diterima oleh aktor-aktor yang terlibat dan ikut menciptakan situasi keputusan kebijakan.
g.      Posisi analis : Sebagai bagian yang ikut mempengaruhi proses dan hasil pengambilan keputusan.
h.      Teknik dan metode analisis yang biasa digunakan : Game theory.
3.      Garbage-Can
a.       Asumsi ontologis : Tidak ada solusi yang benar-benar obyektif untuk setiap solusi, karena permasalahan dan pengambilan keputusan selalu terjadi dalam sebuah konteks yang spesifik.
b.      Asumsi epistemologis : Pilihan solusi yang diambil didasarkan pada kebiasaan daripada pemikiran yang komprehensif
c.       Sikap terhadap konteks : Terlalu hirau dengan konteks, sehingga dalam pengambilan keputusan selalu, terlebih dahulu mengacu pada pengalaman di masa lalu untuk situasi yang dianggap hampir serupa .
d.      Logika Proses : Birokratis.
e.       Cakupan analisis : Proses.
f.       Keputusan yang diharapkan akan dihasilkan : Sesuai dengan keadaan yang dihadapi, namun juga tidak terlalu banyak merubah kebiasaan yang selama ini terlembaga.
g.      Posisi analis : Sebagai bagian dari sistem yang mereproduksi “kebiasaan”.
h.      Teknik dan metode analisis yang biasa digunakan : Game theory.

Diantara kedua model tersebut, ada model yang berusaha mengambil jalan tengah, yang disebut sebagai Model Mixed-Scanning. Ketiga model tersebut memiliki definisi-nya sendiri tentang proses kebijakan. Model Garbage-Can melihat proses kebijakan yang sedikit sekali melibatkan proses yang rasional, dalam artian ilmiah. Proses kebijakan lebih digerakkan oleh kebiasaan-kebiasaan yang sudah pernah dilakukan di masa sebelumnya atau ditempat lain. Sebaliknya, Model Rational-Comprehensive mendefinisikan proses kebijakan sebagai proses yang sepenuhnya rasional. Proses kebijakan meliputi aktivitas kalkulasi, proyeksi, perencanaan, dan formulasi yang njlimet. Segala keputusan diambil berdasarkan informasi yang lengkap dan perhitungan yang komprehensif.
Model Mixed-Scanning mencoba mengambil posisi di antara keduanya. Model ini mengakui keterbatasan nalar manusia, dan melihat proses kebijakan tidak semata-mata ditentukan oleh perhitungan rasional-efektif-efisien, tetapi juga perhitungan rasional-politis, yang mengakibatkan proses kebijakan diwarnai oleh proses tawar-menawar antar berbagai aktor dan kepentingan yang terlibat. Proses tawar-menawar ini juga dianggap terjadi dalam sebuah konteks social yang spesifik, dengan nilai, norma, dan kebiasaan yang mengkerangkai proses administratif dan politik yang terjadi.
Penggunaan ketiga model itu dalam analisa kebijakan, berimplikasi pada tuntutan komprehensivitas dan kepiawaian analisa yang berbeda dari seorang analis. Tentunya, ini disebabkan oleh perbedaan asumsi yang dijadikan sebagai dasar analisa dalam tiap model. Instrumen analisa yang dipakai dalam tiap model juga berbeda-beda.
Bagan 2. Derajat Komprehensivitas Analisis Kebijakan 


 










Misalnya, ada seorang analis yang melakukan analisis untuk pengambilan keputusan kebijakan. Ketika dia memilih menggunakan Model Rational-Comprehensive, mau tidak mau, analis tersebut dituntut untuk melihat dan memperhitungkan secara komprehensif segala kemungkinan yang menjadi konsekuensi dari setiap alternatif pilihan kebijakan yang ada. Sehingga, analisis kebijakan dalam model ini tidak hanya dilakukan untuk menganalisis proses pengambilan keputusan kebijakan, tetapi juga sampai pada pembuatan formula dan desain kebijakan. Dalam model ini, pergeseran praktek dan realita kebijakan dari desain atau formula yang sudah dirumuskan merupakan hal yang paling tidak diharapkan, meskipun bukan berarti tidak diantisipasi. Biasanya desain dan formula kebijakan yang dibangun dengan model ini telah menyiapkan desain atau formula contingency atau exit plan jika situasi kebijakan berkembang ke arah yang tidak diantisipasi sebelumnya. Ini berarti, pilihan untuk melakukan analisa dengan model ini memang menuntut seorang analis untuk benar-benar melakukan analisis yang komprehensif.
Sebaliknya, analis yang bekerja dengan Model Garbage-Can atau Keranjang Sampah, ketika melakukan analisis untuk pengambilan keputusan kebijakan, mungkin sekali hanya dituntut untuk mengidentifikasi pengalaman-pengalaman yang mirip dengan kondisi yang sekarang dianalisis. Kemudian mengidentifikasi keputusan apa yang biasanya” diambil dalam situasi yang dianggap serupa itu dan seberapa besar keputusan itu berhasil. Formula dan desain kebijakan dirancang secara garis besar dan sangat mungkin untuk mengalami perubahan seiring dengan perkembangan situasi yang dihadapi. Namun pilihan atas model ini juga menghadirkan konsekuensi bahwa analis harus selalu siap dengan perubahan situasi yang bisa terjadi seketika.
Pilihan model dalam melakukan analisa kebijakan bukanlah sebuah aktivitas yang tidak bermakna, tetapi merupakan suatu pilihan yang selanjutnya menjadi kerangka acuan bagi seorang analis dalam membangun analisanya. Baik buruknya analisa yang dilakukan, ikut ditentukan oleh konsistensi antara model yang digunakan dan analisis yang dihasilkan dari suatu analisis. Sementara Model Mixed-Scanning berusaha menawarkan fleksibilitas di antara ketegangan dua model sebelumnya. Ini karena asumsi Model Mixed-Scanning melihat bahwa meskipun proses kebijakan melibatkan konflik kepentingan dan tawar-menawar antar aktor, seluruh aktor tersebut berbicara dalam suatu batas rasionalitas minimum.

B.     Pilihan Seorang Analis
Ada banyak faktor yang mempengaruhi pilihan posisi seorang analis bukan sekedar keunggulan dan kelemahan masing-masing model. Seringkali, dalam memilih model, analis juga harus mempertimbangkan faktor waktu yang tersedia, akses terhadap sumber data, dan faktor-faktor lainnya. Tentunya kita tidak bisa mengabaikan faktor-faktor teknis ini dalam pilihan model analisis. Namun, terlepas dari itu semua, penting untuk dipahami oleh seorang analis bahwa kecanggihan analisis sebetulnya tetap menjadi poin utama yang dituntut dari seorang analis. Kecanggihan seorang analis ini akan berujung pada reliabilitas dan akurasi analisis yang dihasilkan. Kecanggihan inilah yang kemudian harus dikompromikan dengan faktor-faktor teknis yang seringkali harus dipertimbangkan oleh seorang analis dalam menentukan pilihan posisinya.
Dalam menentukan pilihan posisi ini, seorang analis harus sanggup memahami dan memproyeksikan konsekuensi yang muncul dari tiap pilihan posisi yang dihadapinya. Konsistensi seorang analis dengan pilihan posisi yang diambilnya, dengan segala konsekuensinya, merupakan poin utama penilaian baik buruknya seorang analis, selain kecanggihan analisa yang dihasilkan. Ini mengingat bahwa situasi yang mempengaruhi pilihan seorang analis tidak pernah sama.
Untuk bisa memahami dan memproyeksikan konsekuensi dari tiap pilihan posisi, seorang analis memerlukan kemampuan untuk berpikir kritis. Kritisisme ini terutama ditujukan pada berbagai pilihan perspektif dan model kebijakan yang ada. Dari situ si analis akan bisa meraba keunggulan dan kelemahan dari masing-masing perspektif dan model kebijakan; serta konsekuensinya dalam analisis yang akan dilakukan.

C.    Mengkritisi Logika Rational-Comprehensive
Untuk memicu kritisisme analis, bisa menggunakan simulasi yang akan berguna sebagai bahan refleksi. Simulasi ini berkaitan dengan masalah komprehensivitas pengetahuan, mengingat klaim logika Rational-Comprehensive menyatakan bahwa proses kebijakan yang baik adalah proses yang sepenuhnya dikendalikan oleh rasionalitas obyektif manusia. Dalam simulasi ini terdiri :
1.      Seorang analis membentuk sebuah kelompok
2.      Memilih isu atau masalah yang ingin di komentari
3.      Mengomentari isu tersebut
4.      Komentar dari semua analis dikumpulkan, kemudian mengisi kolom yang tersedia.
Tabel 1. Matriks Isian Simulasi

Yang Mereka Tahu
Yang Mereka
Tidak Tahu
Yang Saya Tahu
Terbuka bagi Diskusi
Titik Buta Mereka
Yang Saya Tidak
Tahu
Titik Buta Saya
Titik Buta Semua Pihak

5.      Komentar yang sama dengan seorang analis lain akan dimasukkan ke dalam kolom Terbuka Bagi Diskusi. Komentar yang ada dalam kolom ini bisa disebut sebagai inter-subyektivitas yang ada di antara para analis tersebut, terkait dengan isu yang dikomentari. Atau dalam bahasa penganut perspektif obyektivis, disebut sebagai pengetahuan yang obyektif.
6.      Komentar yang berbeda di masukkan dalam kolom Titik Buta Saya.  Jika komentar banyak terkumpul di kolom kuadran Titik Buta Saya. Artinya semakin kecil inter-subyektivitas yang muncul.
7.      Komentar yang tidak disinggung dengan analis lain, dimasukkan dalam kolom Titik Buta Mereka. Jika komentar banyak terkumpul di kolom kuadran Titik Buta Mereka. Artinya semakin kecil inter-subyektivitas yang muncul.
Obyektivitas menjadi tidak relevan ketika pengetahuan tidak lengkap, baik pengetahuan yang kita miliki maupun dimiliki orang lain. Sebetulnya, obyektif atau tidak itu ditentukan oleh apa yang kita ketahui dan orang lain ketahui. Contohnya orang Afrika dan orang Siberia memiliki obyektivitas atas gajah kalau keduanya sama-sama mengenal dan memahami gajah, baik secara konseptual maupun simbolik. Tapi, obyektivitas itu tidak akan terbentuk jika salah satunya tidak atau belum pernah mengenal gajah.
Realitas atau apa yang kita anggap sebagai realitas, sangat mungkin hanyalah sebuah fenomena yang kita maknai secara intersubyektif. Penting seorang analis untuk mengambil dan menentukan posisinya dalam menganalisis. Poin penting yang perlu adalah dengan menentukan posisinya seorang analis bisa mendefinisikan apa yang dia tahu dan apa yang dia tidak tahu. Karena banyak hal yang dia tidak tahu, maka penting bagi si analis untuk selalu membuka pikirannya terhadap pendapat orang lain.
Pada tulisan Eugene, (Bardach, Eugene, 2005, Practical Guide for Policy Analysis: Eightfold Paths toward Problem Solving,NY: CQ Press). Pada Bab I ada dua sub-bab yang masing-masing berjudul “Sentuh Dulu Basisnya” dan “Menggunakan Sepatu Orang Lain”. Dalam dua tulisan itu, poin yang dikemukakan oleh Bardach adalah, seorang analis yang cukup canggih sekalipun perlu mendengarkan masukan dari orang lain, terutama aktoraktor lain yang terlibat dalam area kebijakan yang sama. Karena bisa jadi dari mereka akan ada masukan yang berharga untuk menghasilkan analisa kebijakan yang lebih berkualitas. Setidaknya, ketika analis yang bersangkutan diminta untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan dari analisis yang dilakukannya, si analis bisa mengurangi potensi resistensi dari aktor-aktor kebijakan yang lain. Di sini, terlihat bahwa Bardach menyadari pentingnya aspek politik dalam analisa kebijakan, selain aspek teknokratis, meskipun buku tersebut ditulis dari posisi dan lebih menggambarkan analisis yang dilakukan seorang analis profesional.




















BAB III
KESIMPULAN

Seorang analis kebijakan melakukan analisis dengan tingkat kecanggihan dan komprehensivitas tertentu, itu yang membedakan seorang analis dengan orang awam. Kebijakan sebagai fenomena multidimensional, dengan memperlihatkan bahwa fenomena kebijakan bisa dipotret sebagai realita yang berbeda-beda, ada banyak cara untuk melihat dan memperlakukan kebijakan sebagai sebuah obyek analisis. Perbedaan perspektif melihat kebijakan dan kerangka analisis kebijakan akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda, meskipun obyek kebijakan yang dikaji sama.
Ada banyak aktor yang mempengaruhi pilihan posisi seorang analis bukan sekedar keunggulan dan kelemahan masing-masing model. Seringkali, dalam memilih model, analis juga harus mempertimbangkan faktor waktu yang tersedia, akses terhadap sumber data, dan faktor-faktor lainnya. Dalam menentukan pilihan posisi ini, seorang analis harus sanggup memahami dan memproyeksikan konsekuensi yang muncul dari tiap pilihan posisi yang dihadapinya. Untuk bisa memahami dan memproyeksikan konsekuensi dari tiap pilihan posisi, seorang analis memerlukan kemampuan untuk berpikir kritis. Kritisisme ini terutama ditujukan pada berbagai pilihan perspektif dan model kebijakan yang ada. Untuk memicu kritisisme analis, bisa menggunakan simulasi yang akan berguna sebagai bahan refleksi. Simulasi ini berkaitan dengan masalah komprehensivitas pengetahuan, mengingat klaim logika Rational-Comprehensive menyatakan bahwa proses kebijakan yang baik adalah proses yang sepenuhnya dikendalikan oleh rasionalitas obyektif manusia.



No comments:

Post a Comment

speech delay

 hay guyys.... ini saya mau sedikit share tentang speech delay yang lagi marak terjadi pada anak sekarang ... sama seperti anak saya... spee...