Teknologi
Pengelolaan Sampah Medis
Teknologi adalah metode
ilmiah untuk mencapai tujuan praktis, ilmu pengetahuan terapan, keseluruhan
sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan
kenyaman hidup manusia (http://kbbi.web.id/teknologi diakses tanggal 25
februari 2016). Teknologi adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan
barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.
Penggunaan teknologi oleh manusia diawali dengan pengubahan sumber daya alam
menjadi alat-alat sederhana (https://id.m.wikipedia.org /teknologi diakses
tanggal 25 februari 2016).
Menurut Undang-undang
nomor 18 tahun 2008, pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan
berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan
penanganan sampah. Sampah medis adalah
limbah yang langsung dihasilkan dari tindakan medis terhadap pasien. Jadi
teknologi pengelolaan sampah medis adalah alat, sarana dan metoda yang
digunakan untuk mengelola secara sistematis, menyeluruh dan berkesinambungan
untuk penanganan sampah medis, sehingga hasil penanganan sampah medis dengan
baik tidak akan mencemari lingkungan dan merugikan manusia. Teknologi yang
digunakan untuk pengelolaan sampah medis di antaranya yaitu :
a. Pelebur jarum
Penggunaan
disposable syringe dengan ketentuan sekali pakai membuat sampah atau limbahnya
banyak. Berdasarkan data P2M PL menunjukkan limbah alat suntik di Indonesia khusus untuk imunisasi diperkirakan
sekitar 66 juta per tahun terdiri
dari 36,8 juta limbah alat suntik imunisasi
bayi, 10 juta imunisasi ibu hamil/wanita usia subur, dan 20 juta imunisasi anak sekolah. Limbah alat suntik
secara kuratif sekitar 300 juta per tahun.
Adapun alat untuk
mengatasi limbah berupa jarum suntik, yaitu alat
pemisah jarum, alat penghancur jarum, alat pelebur jarum, tempat pembuangan
jarum khusus (needle pit), syringe safety box, dan insinerator SICIM. Adapun persyaratan khusus needle pit yaitu :
1)
Needle pit digunakan untuk menampung limbah jarum yang terpisah dengan spuitnya dengan
menggunakan needle cutter.
2) Dapat dibuat dari bahan buis beton atau
pipa PVC diameter minimal 6 inchies dengan tinggi maksimal 2 meter.
3) Pit harus kedap air, baik bagian dasar
maupun dindingnya.
4) Tertutup pada bagian atasnya.
5) Tersedia lubang untuk memasukkan jarum ke
dalam pit tersebut.
6) Dapat dikubur sebagian ke dalam tanah.
b. Autoclaving
Autoclaving sering dilakukan
untuk perlakuan sampah infeksius. Sampah dipanasi dengan uap dibawah tekanan.
Namun dalam volume sampah yang besar saat dipadatkan penetrasi uap secara
lengkap pada suhu yang diperlukan sering tidak terjadi dengan demikian tujuan autoclaving (sterilisasi) tidak
tercapai. Perlakuan dengan suhu tinggi pada priode singkat akan membunuh
bakteri vegetatif dan mikroorganisme lain yang bisa membahayakan penjamah
sampah. Kantong sampah plastik biasa hendaknya tidak digunakan karena tidak
tahan panas dan akan meleleh selama autoclaving.
Karena itu diperlukan kantong autoclaving.
Pada kantong ini
terdapat indikator, seperti pita autoclave
yang menunjukkan bahwa kantong telah mengalami perlakuan panas yang cukup. Autoclave yang digunakan secara rutin
untuk limbah biologis harus diuji minimal setahun sekali untuk menjamin hasil
yang optimal. Aadapun persyaratan khusus autoklaf yaitu (Chandra, 2007):
1) Autoklaf Tipe Gravity Flow
a) Temperatur lebih besar dari atau sama
dengan 121oC (seratus dua puluh satu derajat celsius) dan tekanan 15
psi (lima belas pound squareinch) atau 1,02 atm (satu koma nol dua
atmosfer) dengan waktu tinggal di dalam Autoklaf sekurang-kurangnya 60 (enam
puluh) menit;
b) Temperatur lebih besar dari atau sama
dengan 135oC (seratus tiga puluh lima derajat celsius) dan tekanan
31 psi (tiga puluh satu pound squareinch) atau 2,11 atm (dua koma
sebelas atmosfer) dengan waktu tinggal di dalam Autoklaf sekurang-kurangnya 45
(empat puluh lima) menit; atau temperatur lebih besar dari atau sama dengan 149oC
(seratus empat puluh sembilan derajat celsius) dan tekanan 52 psi (lima puluh
dua pound squareinch) atau 3,54 atm (tiga koma lima puluh empat
atmosfer) dengan waktu tinggal di dalam Autoklaf sekurang-kurangnya 30 (tiga
puluh) menit.
2) Autoklaf tipe Vacuum
a) Temperatur lebih besar dari atau sama
dengan 121oC (seratus dua puluh satu derajat celsius) dan tekanan 15
psi (lima belas pound squareinch) atau 1,02 atm (satu koma nol dua atmosfer) dengan waktu tinggal di
dalam Autoklaf sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) menit; atau
b) Temperatur lebih besar dari atau sama
dengan135oC (seratus tiga puluh lima derajat celsius) dan tekanan 31
psi (tiga puluh satu pound squareinch) atau 2,11 atm (dua koma sebelas
atmosfer) dengan waktu tinggal di dalam Autoklaf sekurang-kurangnya 30 (tiga
puluh) menit.
c) Peralatan Autoklaf harus mampu membunuh
spora dalam uji validasi yang dilakukan terhadap spora Bacillus
stearothermophilus pada konsentrasi 1x104 (satu kali sepuluh pangkat empat)
spora per milliliter yang ditempatkan dalam vial atau lembaran spora (spore
strips).
d) Peralatan Autoklaf dilarang digunakan
untuk disinfeksi limbah bahan kimia kadaluwarsa, tumpahan, sisa kemasan, atau
buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi, limbah patologis dan jaringan
anatomi, limbah radioaktif limbah farmasi dan limbah material sitotoksik
(genotoksik).
c. Disinfeksi dengan bahan kimia
Peranan disinfeksi
untuk institusi yang besar tampaknya terbatas penggunanya, misalnya digunakan
setelah mengepel lantai atau membasuh tumpahan dan mencuci kendaraan limbah.
Limbah infeksius dapat mengandung berbagai macam mikroorganisme patogen.
Patogen tersebut dapat memasuki tubuh manusia melalui beberapa jalur yaitu
akibat tusukan, lecet atau luka di kulit, melalui membran mukosa, melalui
pernapasan, dan melalui ingesti.
Kekhawatiran muncul
terutama terhadap HIV serta virus hepatitis B dan C karena ada bukti kuat yang
menunjukkan bahwa virus tersebut ditularkan melalui limbah layanan kesehatan.
Penularan umumnya terjadi melalui cedra dan jarum spuit yang terkontaminasi
darah manusia. Limbah infeksius dengan jumlah kecil dapt didesinfeksi atau
membunuh mikroorganisme tapi tidak membunuh spora bakteri dengan bahan kimia
seperti hypochloite atau permanganate. Limbah dapat menyerap
cairan disinfeksi sehingga akan menambah masalah penanganan.
d. Incinerator
1) Pengertian
Insinerasi pada
dasarnya ialah proses oksidasi bahan-bahan organik menjadi bahan anorganik.
Prosesnya sendiri merupakan reaksi oksidasi cepat antara bahan organik dengan
oksigen. Apabila berlangsung secara sempurna, kandungan bahan organik (H dan C)
dalam sampah akan dikonversi menjadi gas karbondioksida (CO2) dan
uap air (H2O).
Unsur-unsur penyusun
sampah lainnya seperti belerang (S) dan nitrogen (N) akan dioksidasi menjadi
oksida-oksida dalam fase gas (SOX, NOX) yang terbawa di
gas produk. Beberapa contoh insinerator ialah open burning, single chamber, open pit, multiple chamber, starved air
unit, rotary kiln, dan fluidized bed
incinerator. Incenerator
merupakan alat yang digunakan untuk memusnahkan sampah denagn membakar sampah
tersebut dalam tungku pada suhu 1500-1800 OF dan dapat mengurangi
sampah 70 %.
Incinerator atau
insinerasi merupakan suatu metode pemusnahan sampah dengan cara membakar sampah
secara besar-besaran dengan menggunakan fasilitas pabrik (Chandra 2007). Incinerator merupakan proses oksidasi kering bersuhu
tinggi. Proses ini biasanya dipilih untuk mengolah sampah yang tidak dapat
didaur ulang, dimanfaatkan kembali, atau dibuang di lokasi landfill (WHO,
2005). Incinerator hanya digunakan untuk memusnahkan sampah klinis
(Depkes RI, 2002). Perlengkapan incinerator harus dipilih dengan cermat
berdasarkan sarana dan prasarana yang tersedia dan situasi
setempat.
Bila incinerator akan digunakan di rumah sakit serta Puskesmas, maka
beberapa faktor perlu diperhatikan adalah ukuran, desain yang disesuaikan
dengan peraturan pengendalian pencemaran udara, penempatan lokasi yang
berkaitan dengan jalur pengangkutan sampah/limbah dalam kompleks rumah sakit
serta Puskesmas dan jalur pembuangan abu dan sarana gedung untuk melindungi incinerator
dari bahaya kebakaran. Incinerator hanya digunakan untuk memusnahkan
sampah/limbah medis.
2) Manfaat incinerator yaitu diantaranya (Chandra 2007):
a) Volume sampah dapat diperkecil sampai sepertiganya.
b) Tidak memerlukan ruangan yang luas.
c) Panas yang dihasilkan dapat dipakai sebagai sumber uap.
d) Pengelolaan dapat dilakaukan secara terpusat dengan jadwal jam
kerja yang dapat diatur sesuai dengan kebutuhan.
3) Kerugian. Adapun kerugian yang ditimbulkan akibat penerapan
incinerator yaitu biaya besar dan lokalisasi pembuangan pabrik sukar didapt
karena keberatan penduduk (Chandra 2007).
4) Peralatan yang digunakan untuk insinerasi, antara lain (Chandra
2007):
a) Charging
apparatus adalah tempat penampungan
sampah yang berasal dari kendaran pengangkut sampah. Di tempat ini sampah yang
terkumpul ditumpuk dan diaduk.
b) Furnace atau tungku merupakan alat pembakar yang dilengkapi dengan jeruji
besi yang berguna untuk mengatur jumlah masuk sampah dan untuk memisahkan abu
dengan sampah yang belum terbakar. Dengan demikian tungku tidak terlalu penuh.
c) Combustion atau tungku pembakar kedua, memiliki nyala api yang lebih panas
dan berfungsi untuk membakar benda-benda yang tidak terbakar pada tungku
pertama.
5) Incinerator yang sudah memenuhi persyaratan minimum yaitu (WHO,
2005) :
a) Incinerator Bilik Tunggal
Incinerator jenis ini mengolah sampah berdasarkan sekumpulan demi sekumpulan, pemasukan
sampah dan pemusnahan abu dilakukan secara manual. Pembakaran dipicu dengan
penambahan bahan bakar dan harus dapat bertahan tanpa penambahan bahan bakar
lagi. Aliran udara masuk biasanya berasal dari ventilasi
alami mulai dari mulut oven sampai ke cerobong.
b) Incinerator Drum
Incinerator drum atau lahan terbuka merupakan bentuk yang paling sederhana dari incinerator
bilik tunggal. Metode ini harus dilakukan hanya sebagai upaya terakhir
karena memang sulit untuk dapat membakar habis sampah tanpa menghasilkan asap
yang berbahaya. Pilihan ini hanya tepat dilakukan dalam kondisi darurat selama
kejadian luar biasa penyakit menular akut dan hanya boleh dilakukan pada sampah
yang infeksius. Incinerator bata yanng digunakan dalam kondisi yang
serupa dapat dibanngun dengan membentuk suatu ruang
tertutup yang dikelilingi dinding bata atau dinding beton.
e. Limming (pengapuran)
Jika fasilitas
insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan
ditanam. Langkah-langkah pengapuran (liming) tersebut meliputi yang
berikut:
1) Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter.
2) Tebarkan limbah klinik didasar lubang sampai setinggi 75 cm.
3) Tambahkan lapisan kapur. Lapisan limbah yang ditimbun lapisan
kapur masih bisa ditambahkan sampai ketinggian 0,5 meter dibawah permukaan
tanah.
4) Akhirnya lubang tersebut harus ditututup dengan tanah (Setyo
Sarwanto, 2003).
f. Encapulation
Encapulation adalah
suatu pengolahan limbah dengan cara limbah dimasukkan dalam container, kemudian
ditambahkan zat yang dapat menyebabkan sampah tidak dapt bergerak, dan kemudian
container ditutup dengan adukan semen dan pasir bitumen, dan setelah kering
tuang ke lokasi landfill. Limbah yang
dapt diproses dengan cara ini antara lain benda tajam, resisu bahan kimia atau
sediaan farmasi. Adapun persyaratan khusus encapulation yaitu :
1)
Proses enkasulasi pada prinsipnya melakukan solidifikasi terhadap limbah untuk
menghindari terjadinya pelindian terhadap limbah dan menghilangkan risiko
limbah diakses oleh organisme pemulung (scavengers).
2) Enkapsulasi dilakukan dengan cara
memasukkan limbah sebanyak 2/3 dari volume wadah dan selanjutnya ditambahkan
material immobilisasi sampai penuh sebelum wadahnya ditutup dan dikungkung.
Material immobilisasi dapat berupa gabus plastik, pasir bituminus, dan semen.
3) Wadah yang digunakan dapat berupa high
density polyethylene (HDPE) atau drum logam. Limbah yang dilakukan enkapsulasi
dapat berupa limbah benda tajam, limbah farmasi dan limbah bahan kimia sebelum
akhirnya hasil enkapsulasi tersebut ditimbun di landfill.
g.
Inertisasi
Proses ini merupakan
pencampuran sampah dengan semen dengan maksud untuk meminimalkan resiko
berpindahnya substansi yang ada dalm limbah ke air permukaan atau air tanah.
Metode ini sangat sesuai untuk limbah sediaan farmasi atau abu insenerasi.
Adapun persyaratan
khusus inertisasi yaitu :
1)
Inertisasi merupakan proses solidifikasi limbah menggunakan semen dan
material lainnya sebelum limbah ditimbun di landfill.
2) Inertisasi dapat dilakukan terhadap limbah
farmasi atau limbah bahan kimia dimana limbah tersebut dikeluarkan dari
wadahnya untuk selanjunya dilakukan solidifikasi dengan air, kapur dan semen.
Proses inertisasi dilakukan dengan cara:
a) Limbah dicampur dengan pasir dan semen
menggunakan sekop dengan perbandingan limbah, pasir dan semen portland 3:1:2.
b) Hasil pencampuran selanjutnya dituangkan
dalam sebuah cetakan dengan ukuran dimensi sekurang-kurangnya 40 cm x 40 cm x
40 cm, setelah cetakan tersebut sebelumnya telah dilapisi dengan plastik
sehingga dapat mengungkung campuran limbah. Hasil pencampuran didiamkan selama
5 (lima) hari untuk penyempurnaan proses solidifikasi (Draf Juknis DAK 2015).
h.
Sanitary landfill
Sanitary landfill adalah sistem pemusnahan yang paling baik. Dalam
metode ini, pemusnahan sampah dilakukan dengan cara menimbun sampah dengan
tanah yang dilakukan selapis demi selapis. Dengan demikian sampah tidak berada
dirunagan terbuka dan tentunya tidak menimbulkan bau atau menjadi sarang
binatang pengerat. Sanitary landfill yang baik harus memenuhi
persyaratan berikut yaitu tersedia temapt yang luas, tanah untuk menimbunnya,
dan alat-alat besar. Lokasi sanitary landfill yang lama dan sudah tidak
dipakai lagi dapt dimanfaatkan sebagai tempat pemukiman, perkantoran dan
sebagainya (Chandra, 2007).
Metode sanitary landfill dapat mencegah kontaminasi tanah dan air
permukaan serta air tanah dan mengurangi pencemaran udara, bau serta kontak
langsung dengan masyarakat umum (WHO, 2005). Beberapa unsur penting dalam
desain dan penerapan sanitary landfill, antara lain (WHO, 2005):
1) Akses ke lokasi dan area kerja dapat
dijangkau oleh kendaraan pengantar dan pengangkut limbah medis.
2) Keberadaan petugas di tempat yang mampu
mengontrol secara efektif kegiatan operasional setiap hari.
3) Pembagian lokasi mejadi fase-fase yang
dapat ditangani dan dipersiapkan dengan tepat sebelum landfill mulai
dioperasikan.
4) Penutupan yang adekuat bagian dasar dan
sisi lubang di lokasi untuk meminimalkan pergerakan cairan dari sampah (leachate)
keluar lokasi.
5) Mekanisme yang adekuat untuk penampungan leachate
dan sistem pengolahan yang memadai jika perlu.
6) Pembuangan limbah yang terkelola disebuah
lokasi yang kecil, memungkinkan limbah untuk disebar merata. Dipadatkan dan
ditimbun (ditutup dengan tanah) setiap hari.
7) Selokan kecil untuk menampung air
permukaan di sekitar perbatasan lokasi pembuangan.
8) Konstruksi lapisan penutup paling atas
untuk meminimalkan masuknya air hujan jika setiap fase landfill sudah
selesai.
No comments:
Post a Comment