Ani Romaningsih: Teknologi Pengelolaan Sampah Medis

Wednesday, November 16, 2016

Teknologi Pengelolaan Sampah Medis



Teknologi Pengelolaan Sampah Medis
Teknologi adalah metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis, ilmu pengetahuan terapan, keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyaman hidup manusia (http://kbbi.web.id/teknologi diakses tanggal 25 februari 2016). Teknologi adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia. Penggunaan teknologi oleh manusia diawali dengan pengubahan sumber daya alam menjadi alat-alat sederhana (https://id.m.wikipedia.org /teknologi diakses tanggal 25 februari 2016).
Menurut Undang-undang nomor 18 tahun 2008, pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Sampah medis adalah limbah yang langsung dihasilkan dari tindakan medis terhadap pasien. Jadi teknologi pengelolaan sampah medis adalah alat, sarana dan metoda yang digunakan untuk mengelola secara sistematis, menyeluruh dan berkesinambungan untuk penanganan sampah medis, sehingga hasil penanganan sampah medis dengan baik tidak akan mencemari lingkungan dan merugikan manusia. Teknologi yang digunakan untuk pengelolaan sampah medis di antaranya yaitu :
a.    Pelebur jarum
Penggunaan disposable syringe dengan ketentuan sekali pakai membuat sampah atau limbahnya banyak. Berdasarkan data P2M PL menunjukkan limbah alat suntik di Indonesia khusus untuk imunisasi diperkirakan sekitar 66 juta per tahun terdiri dari 36,8 juta limbah alat suntik imunisasi bayi, 10 juta imunisasi ibu hamil/wanita usia subur,  dan 20 juta imunisasi anak sekolah. Limbah alat suntik secara kuratif sekitar 300 juta per tahun.
Adapun alat untuk mengatasi limbah berupa jarum suntik, yaitu alat pemisah jarum, alat penghancur jarum, alat pelebur jarum, tempat pembuangan jarum khusus (needle pit), syringe safety box, dan insinerator SICIM.  Adapun persyaratan khusus needle pit yaitu :
1)   Needle pit digunakan untuk menampung limbah jarum yang terpisah dengan spuitnya dengan menggunakan needle cutter.
2)   Dapat dibuat dari bahan buis beton atau pipa PVC diameter minimal 6 inchies dengan tinggi maksimal 2 meter.
3)   Pit harus kedap air, baik bagian dasar maupun dindingnya.
4)   Tertutup pada bagian atasnya.
5)   Tersedia lubang untuk memasukkan jarum ke dalam pit tersebut.
6)   Dapat dikubur sebagian ke dalam tanah.
b.    Autoclaving
Autoclaving sering dilakukan untuk perlakuan sampah infeksius. Sampah dipanasi dengan uap dibawah tekanan. Namun dalam volume sampah yang besar saat dipadatkan penetrasi uap secara lengkap pada suhu yang diperlukan sering tidak terjadi dengan demikian tujuan autoclaving (sterilisasi) tidak tercapai. Perlakuan dengan suhu tinggi pada priode singkat akan membunuh bakteri vegetatif dan mikroorganisme lain yang bisa membahayakan penjamah sampah. Kantong sampah plastik biasa hendaknya tidak digunakan karena tidak tahan panas dan akan meleleh selama autoclaving. Karena itu diperlukan kantong autoclaving.
Pada kantong ini terdapat indikator, seperti pita autoclave yang menunjukkan bahwa kantong telah mengalami perlakuan panas yang cukup. Autoclave yang digunakan secara rutin untuk limbah biologis harus diuji minimal setahun sekali untuk menjamin hasil yang optimal. Aadapun persyaratan khusus autoklaf yaitu (Chandra, 2007):
1)   Autoklaf Tipe Gravity Flow
a)    Temperatur lebih besar dari atau sama dengan 121oC (seratus dua puluh satu derajat celsius) dan tekanan 15 psi (lima belas pound squareinch) atau 1,02 atm (satu koma nol dua atmosfer) dengan waktu tinggal di dalam Autoklaf sekurang-kurangnya 60 (enam puluh) menit;
b)   Temperatur lebih besar dari atau sama dengan 135oC (seratus tiga puluh lima derajat celsius) dan tekanan 31 psi (tiga puluh satu pound squareinch) atau 2,11 atm (dua koma sebelas atmosfer) dengan waktu tinggal di dalam Autoklaf sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) menit; atau temperatur lebih besar dari atau sama dengan 149oC (seratus empat puluh sembilan derajat celsius) dan tekanan 52 psi (lima puluh dua pound squareinch) atau 3,54 atm (tiga koma lima puluh empat atmosfer) dengan waktu tinggal di dalam Autoklaf sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) menit.
2)   Autoklaf tipe Vacuum
a)    Temperatur lebih besar dari atau sama dengan 121oC (seratus dua puluh satu derajat celsius) dan tekanan 15 psi (lima belas pound squareinch) atau 1,02 atm (satu koma  nol dua atmosfer) dengan waktu tinggal di dalam Autoklaf sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) menit; atau
b)   Temperatur lebih besar dari atau sama dengan135oC (seratus tiga puluh lima derajat celsius) dan tekanan 31 psi (tiga puluh satu pound squareinch) atau 2,11 atm (dua koma sebelas atmosfer) dengan waktu tinggal di dalam Autoklaf sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) menit.
c)    Peralatan Autoklaf harus mampu membunuh spora dalam uji validasi yang dilakukan terhadap spora Bacillus stearothermophilus pada konsentrasi 1x104 (satu kali sepuluh pangkat empat) spora per milliliter yang ditempatkan dalam vial atau lembaran spora (spore strips).
d)   Peralatan Autoklaf dilarang digunakan untuk disinfeksi limbah bahan kimia kadaluwarsa, tumpahan, sisa kemasan, atau buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi, limbah patologis dan jaringan anatomi, limbah radioaktif limbah farmasi dan limbah material sitotoksik (genotoksik).
c.    Disinfeksi dengan bahan kimia
Peranan disinfeksi untuk institusi yang besar tampaknya terbatas penggunanya, misalnya digunakan setelah mengepel lantai atau membasuh tumpahan dan mencuci kendaraan limbah. Limbah infeksius dapat mengandung berbagai macam mikroorganisme patogen. Patogen tersebut dapat memasuki tubuh manusia melalui beberapa jalur yaitu akibat tusukan, lecet atau luka di kulit, melalui membran mukosa, melalui pernapasan, dan melalui ingesti.
Kekhawatiran muncul terutama terhadap HIV serta virus hepatitis B dan C karena ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa virus tersebut ditularkan melalui limbah layanan kesehatan. Penularan umumnya terjadi melalui cedra dan jarum spuit yang terkontaminasi darah manusia. Limbah infeksius dengan jumlah kecil dapt didesinfeksi atau membunuh mikroorganisme tapi tidak membunuh spora bakteri dengan bahan kimia seperti hypochloite atau permanganate. Limbah dapat menyerap cairan disinfeksi sehingga akan menambah masalah penanganan.
d.   Incinerator
1)   Pengertian
Insinerasi pada dasarnya ialah proses oksidasi bahan-bahan organik menjadi bahan anorganik. Prosesnya sendiri merupakan reaksi oksidasi cepat antara bahan organik dengan oksigen. Apabila berlangsung secara sempurna, kandungan bahan organik (H dan C) dalam sampah akan dikonversi menjadi gas karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O).
Unsur-unsur penyusun sampah lainnya seperti belerang (S) dan nitrogen (N) akan dioksidasi menjadi oksida-oksida dalam fase gas (SOX, NOX) yang terbawa di gas produk. Beberapa contoh insinerator ialah open burning, single chamber, open pit, multiple chamber, starved air unit, rotary kiln, dan fluidized bed incinerator. Incenerator merupakan alat yang digunakan untuk memusnahkan sampah denagn membakar sampah tersebut dalam tungku pada suhu 1500-1800 OF dan dapat mengurangi sampah 70 %.
Incinerator atau insinerasi merupakan suatu metode pemusnahan sampah dengan cara membakar sampah secara besar-besaran dengan menggunakan fasilitas pabrik (Chandra 2007). Incinerator merupakan proses oksidasi kering bersuhu tinggi. Proses ini biasanya dipilih untuk mengolah sampah yang tidak dapat didaur ulang, dimanfaatkan kembali, atau dibuang di lokasi landfill (WHO, 2005). Incinerator hanya digunakan untuk memusnahkan sampah klinis (Depkes RI, 2002). Perlengkapan incinerator harus dipilih dengan cermat berdasarkan sarana dan prasarana yang tersedia dan situasi setempat.
Bila incinerator akan digunakan di rumah sakit serta Puskesmas, maka beberapa faktor perlu diperhatikan adalah ukuran, desain yang disesuaikan dengan peraturan pengendalian pencemaran udara, penempatan lokasi yang berkaitan dengan jalur pengangkutan sampah/limbah dalam kompleks rumah sakit serta Puskesmas dan jalur pembuangan abu dan sarana gedung untuk melindungi incinerator dari bahaya kebakaran. Incinerator hanya digunakan untuk memusnahkan sampah/limbah medis.
2)   Manfaat incinerator yaitu diantaranya (Chandra 2007):
a)    Volume sampah dapat diperkecil sampai sepertiganya.
b)   Tidak memerlukan ruangan yang luas.
c)    Panas yang dihasilkan dapat dipakai sebagai sumber uap.
d)   Pengelolaan dapat dilakaukan secara terpusat dengan jadwal jam kerja yang dapat diatur sesuai dengan kebutuhan.
3)   Kerugian. Adapun kerugian yang ditimbulkan akibat penerapan incinerator yaitu biaya besar dan lokalisasi pembuangan pabrik sukar didapt karena keberatan penduduk (Chandra 2007).
4)   Peralatan yang digunakan untuk insinerasi, antara lain (Chandra 2007):
a)    Charging apparatus adalah tempat penampungan sampah yang berasal dari kendaran pengangkut sampah. Di tempat ini sampah yang terkumpul ditumpuk dan diaduk.
b)   Furnace atau tungku merupakan alat pembakar yang dilengkapi dengan jeruji besi yang berguna untuk mengatur jumlah masuk sampah dan untuk memisahkan abu dengan sampah yang belum terbakar. Dengan demikian tungku tidak terlalu penuh.
c)    Combustion atau tungku pembakar kedua, memiliki nyala api yang lebih panas dan berfungsi untuk membakar benda-benda yang tidak terbakar pada tungku pertama.
5)   Incinerator yang sudah memenuhi persyaratan minimum yaitu (WHO, 2005) :
a)    Incinerator Bilik Tunggal
Incinerator jenis ini mengolah sampah berdasarkan sekumpulan demi sekumpulan, pemasukan sampah dan pemusnahan abu dilakukan secara manual. Pembakaran dipicu dengan penambahan bahan bakar dan harus dapat bertahan tanpa penambahan bahan bakar lagi. Aliran udara masuk biasanya berasal dari ventilasi alami mulai dari mulut oven sampai ke cerobong.
b)   Incinerator Drum
Incinerator drum atau lahan terbuka merupakan bentuk yang paling sederhana dari incinerator bilik tunggal. Metode ini harus dilakukan hanya sebagai upaya terakhir karena memang sulit untuk dapat membakar habis sampah tanpa menghasilkan asap yang berbahaya. Pilihan ini hanya tepat dilakukan dalam kondisi darurat selama kejadian luar biasa penyakit menular akut dan hanya boleh dilakukan pada sampah yang infeksius. Incinerator bata yanng digunakan dalam kondisi yang serupa dapat dibanngun dengan membentuk suatu ruang tertutup yang dikelilingi dinding bata atau dinding beton.
e.    Limming (pengapuran)
Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan ditanam. Langkah-langkah pengapuran (liming) tersebut meliputi yang berikut:
1)   Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter.
2)   Tebarkan limbah klinik didasar lubang sampai setinggi 75 cm.
3)   Tambahkan lapisan kapur. Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditambahkan sampai ketinggian 0,5 meter dibawah permukaan tanah.
4)   Akhirnya lubang tersebut harus ditututup dengan tanah (Setyo Sarwanto, 2003).
f.     Encapulation
Encapulation adalah suatu pengolahan limbah dengan cara limbah dimasukkan dalam container, kemudian ditambahkan zat yang dapat menyebabkan sampah tidak dapt bergerak, dan kemudian container ditutup dengan adukan semen dan pasir bitumen, dan setelah kering tuang ke lokasi landfill. Limbah yang dapt diproses dengan cara ini antara lain benda tajam, resisu bahan kimia atau sediaan farmasi. Adapun persyaratan khusus encapulation yaitu :
1)   Proses enkasulasi pada prinsipnya melakukan solidifikasi terhadap limbah untuk menghindari terjadinya pelindian terhadap limbah dan menghilangkan risiko limbah diakses oleh organisme pemulung (scavengers).
2)   Enkapsulasi dilakukan dengan cara memasukkan limbah sebanyak 2/3 dari volume wadah dan selanjutnya ditambahkan material immobilisasi sampai penuh sebelum wadahnya ditutup dan dikungkung. Material immobilisasi dapat berupa gabus plastik, pasir bituminus, dan semen.
3)   Wadah yang digunakan dapat berupa high density polyethylene (HDPE) atau drum logam. Limbah yang dilakukan enkapsulasi dapat berupa limbah benda tajam, limbah farmasi dan limbah bahan kimia sebelum akhirnya hasil enkapsulasi tersebut ditimbun di landfill.
g.      Inertisasi
Proses ini merupakan pencampuran sampah dengan semen dengan maksud untuk meminimalkan resiko berpindahnya substansi yang ada dalm limbah ke air permukaan atau air tanah. Metode ini sangat sesuai untuk limbah sediaan farmasi atau abu insenerasi. Adapun persyaratan khusus inertisasi yaitu :
1)   Inertisasi merupakan proses solidifikasi limbah menggunakan semen dan material lainnya sebelum limbah ditimbun di landfill.
2)   Inertisasi dapat dilakukan terhadap limbah farmasi atau limbah bahan kimia dimana limbah tersebut dikeluarkan dari wadahnya untuk selanjunya dilakukan solidifikasi dengan air, kapur dan semen. Proses inertisasi dilakukan dengan cara:
a)    Limbah dicampur dengan pasir dan semen menggunakan sekop dengan perbandingan limbah, pasir dan semen portland 3:1:2.
b)   Hasil pencampuran selanjutnya dituangkan dalam sebuah cetakan dengan ukuran dimensi sekurang-kurangnya 40 cm x 40 cm x 40 cm, setelah cetakan tersebut sebelumnya telah dilapisi dengan plastik sehingga dapat mengungkung campuran limbah. Hasil pencampuran didiamkan selama 5 (lima) hari untuk penyempurnaan proses solidifikasi (Draf Juknis DAK 2015).
h.      Sanitary landfill
Sanitary landfill adalah sistem pemusnahan yang paling baik. Dalam metode ini, pemusnahan sampah dilakukan dengan cara menimbun sampah dengan tanah yang dilakukan selapis demi selapis. Dengan demikian sampah tidak berada dirunagan terbuka dan tentunya tidak menimbulkan bau atau menjadi sarang binatang pengerat. Sanitary landfill yang baik harus memenuhi persyaratan berikut yaitu tersedia temapt yang luas, tanah untuk menimbunnya, dan alat-alat besar. Lokasi sanitary landfill yang lama dan sudah tidak dipakai lagi dapt dimanfaatkan sebagai tempat pemukiman, perkantoran dan sebagainya (Chandra, 2007).
Metode sanitary landfill dapat mencegah kontaminasi tanah dan air permukaan serta air tanah dan mengurangi pencemaran udara, bau serta kontak langsung dengan masyarakat umum (WHO, 2005). Beberapa unsur penting dalam desain dan penerapan sanitary landfill, antara lain (WHO, 2005):
1)   Akses ke lokasi dan area kerja dapat dijangkau oleh kendaraan pengantar dan pengangkut limbah medis.
2)   Keberadaan petugas di tempat yang mampu mengontrol secara efektif kegiatan operasional setiap hari.
3)   Pembagian lokasi mejadi fase-fase yang dapat ditangani dan dipersiapkan dengan tepat sebelum landfill mulai dioperasikan.
4)   Penutupan yang adekuat bagian dasar dan sisi lubang di lokasi untuk meminimalkan pergerakan cairan dari sampah (leachate) keluar lokasi.
5)   Mekanisme yang adekuat untuk penampungan leachate dan sistem pengolahan yang memadai jika perlu.
6)   Pembuangan limbah yang terkelola disebuah lokasi yang kecil, memungkinkan limbah untuk disebar merata. Dipadatkan dan ditimbun (ditutup dengan tanah) setiap hari.
7)   Selokan kecil untuk menampung air permukaan di sekitar perbatasan lokasi pembuangan.
8)   Konstruksi lapisan penutup paling atas untuk meminimalkan masuknya air hujan jika setiap fase landfill sudah selesai.

No comments:

Post a Comment

speech delay

 hay guyys.... ini saya mau sedikit share tentang speech delay yang lagi marak terjadi pada anak sekarang ... sama seperti anak saya... spee...